Senin, 12 Mei 2014

Adu Tanduk Warisan Ki Ronggo Bondowoso



Adu Tanduk Warisan Ki Ronggo Bondowoso


 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
        Zaman sekarang banyak budaya-budaya luar masuk secara bebas ke dalam negeri khususnya Budaya Barat, dan masuknya budaya ini lansung diterima dengan baik tanpa melihat dampak-dampak yang akan terjadi nantinya. Sehingga tanpa disadari banyak budaya-budaya asli dalam negeri yang terpinggirkan dan bahkan perlahan-lahan mengalami kepunahan. Sama halnya dengan salah satu Kebudayaan Asli Kabupaten Bondowoso yaitu Budaya Aduan Sapi yang mengalami kepunahan. Budaya Aduan Sapi merupakan aset Kebudayaan Asli yang mempunyai nilai sejarah tinggi, pasalnya budaya ini merupakan cikal bakal berdirinya Kabupaten Bondowoso.
Selain itu, Budaya Aduan Sapi merupakan budaya yang mempunyainilai jual tinggi, terbukti ketika kebudayaan ini masih lestari dapat memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap pendapatan asli daerah.
Namu seiring perkembangan jaman budaya ini semakin punah diakibatkan oleh dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 19 tahun 2002 tentang Budaya Aduan Sapi. Larangan keras juga dikeluarkan oleh Pemkab, DPRD, Tokoh Masyarakat, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bondowoso. Menurut mereka budaya ini lebih banyak mengandung unsur perjudian dibandingkan kebudayaan. Namun dibalik larangan ini Budaya Aduan Sapi perlahan-lahan mengalami kepunahan. Bahkan larangan ini banyak menimbulkan masalah, sebab 75 % masyarakat Kabupaten Bondowoso sangat mengagumi budaya ini. Tidak hanya itu, kunjungan turis pun ke Kabupaten Bondowoso mengalami penurunan karena punahnya budaya ini. Oleh karena itu penulis membuat penelitian ini dengan judul Tradisi Adu Tanduk warisan Ki Ronggo sebagai Aset Kebudayaan Asli Kabupaten Bondowoso yang bertujuan untuk membantu pelestarian budaya ini yang hampir punah.








1.2   Rumusan Masalah
1.   Bagaimana sejarah lahirnya Budaya Aduan Sapi?
2.   Bagaimana keunikan Aduan Sapi tersebut?
3.   Apa saja yang harus dilakukan untuk melestarikan Budaya Aduan Sapi?

1.3   Tujuan Penelitian
1.   Mengetahui sejarah lahirnya Budaya Aduan Sapi.
2.   Mengetahui keunikan Aduan Sapi sehingga sebagian besar warga Kabupaten Bondowoso dan turis luar negeri mengagumi Budaya Aduan Sapi.
3.   Mengetahui Apa saja yang harus dilakukan untuk melestarikan Budaya Aduan Sapi.

1.4   Manfaat Penelitian
1.    Menambah pengetahuan masyarakat Kabupaten Bondowoso khususnya tentang sejarah lahirnya Budaya Aduan Sapi.
2.    Menambah pengetahuan masyarakat Kabupaten Bondowoso khususnya tentang keunikan Aduan Sapi sehingga sebagian besar warga Kabupaten Bondowoso dan turis luar negeri mengagumi Budaya Aduan Sapi.
3.    Menambah pengetehuan masyarakat Kabupaten Bondowoso khususnya tentang Apa saja yang harus dilakukan untuk melestarikan Budaya Aduan Sapi.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Lahirnya Budaya Aduan Sapi
Adu sapi tidak bisa dilepaskan dengan cikal-bakal nama Kota Bondowoso (Bondo: modal dan woso: waisya atau sapi). Kota ini konon didirikan oleh seorang kiai keturunan Madura yang bernama Ki Ronggo. Di awal abad ke-18 Ki Ronggo mendarat di pesisir Besuki (kini masuk Kabupaten Situbondo, di pantai utara hampir ujung timur pulau Jawa), dengan di ikuti sejumlah santrinya. Dari sana Ki Ronggo melintasi bukit dan ngarai. Sambil membabat hutan, ia melalui lembah-lembah yang sangat curam, yang kini disebut Gunug Arak-arak. Ki Ronggo mengembara hanya bermodalkan sapi jantan, Jagung, dan padi yang ditaburkan sepanjang jalan.
Konon, lahan-lahan yang kini subur itulah yang dulu dilewati Ki Ronggo. Sesampai di Bondowoso, Ki Ronggo mengumpulkan pengikutnya di sebuah tanah lapang yang becek, ia menyuruh santri-santrinya mengeraskan tanah dengan sapi-sapi jantan milik Kiai. Sambil bersiulan gembira, para santri melaksanakan perintah sambil menghibur diri dengan mengadu sapi. Lahan itu kini jadi alun-alun Kota Bondowoso. Sekarang Aduan Sapi berubah menjadi tradisi dan tontonan yang menghibur bagi masyarakat.
Bondowoso yang 70% tanahnya terdiri dari pegunungan dan bukit merupakan kota paling kuno setidaknya di kawasan ujung timur Pulau Jawa, namun dibalik itu semua tanah Bondowoso merupakan Daerah penghasil padi dan tembakau.
Sampai tahun 1900-an Kabupaten Bondowoso merupakan wilayah administrasi Besuki. Dengan berpenduduk lebih dari 600 ribu jiwa, dengan luas sekitar 1.560 kilometer persegi, kota ini dihuni mayoritas pendatang  dari Pulau Madura. Tentu saja bahasa Madura di kawasan ini sangat dominan. Menurut K.H Hoesnan Thoha pemuka masyarakat di Bondowoso, masyarakat Madura tak bisa dilepaskan dari sapi. Begitu pula yang telah bermukim di Bondowoso.
2.2 Keunikan Aduan Sapi
Pertunjukan Aduan Sapi pada dasarnya merupakan pemenuhan kebutuhan masyarakat Bondowoso untuk melestarikan seni budaya tradisional yang nantinya diharapkan akan menunjang Pendapatan Asli Daerah  dan ragam budaya asli Kabupaten Bondowoso.
Aduan Sapi merupakan antraksi Budaya Tradisional khas dari warisan nenek moyang masyarakat Bondowoso yang mempunyai keunikan tersendiri dan satu-satunya di Jawa Timur, dan juga menjadi salah satu atraksi budaya andalan bagi Kabupaten Bondowoso dan menjadi Aset Budaya bagi perkembangan kepariwisataan Jawa Timur pada khususnya dan bagi perkembangan kepariwisataan Indonesia pada umumnya.
   Aduan Sapi merupakan budaya khas satu-satunya di Jawa Timur yang dimiliki oleh Kabupaten Bondowoso. Bagi Kepala Daerah Bondowoso, pertunjukan adu sapi adalah salah satu kegiatan untuk menaikkan pendapatan desa. Retribusi parkir dan sewa tanah aduan kami serahkan perangkat desa. Sehingga uangnya untuk kepentingan desa itu sendiri ketika lokasi pertunjukan masih berpindah-pindah dari desa ke desa.
Budaya ini memiliki keunikan tersendiri, pementasan tari Pecut yang merupakan tarian khas Pulau Madura sebelum pertunjukan dimulai dan pertunjukan musik gamelan yang mengiringi aduan sapi selama berlangsung. Kemudian  jenis sapi yang digunakan dalam pertunjukan ini adalah sapi-sapi yang mempunyai kriteria tubuh besar, tanduk runcing (berfungsi sebagai senjata untuk melawan musuh), dan mempunyai ketahanan tubuh yang kuat. Contoh jenis sapi tersebut yaitu Sapi Brahman, Sapi Bali, Sapi Brangos, dan Sapi Limusin.
Pertunjukan Aduan Sapi diadakan dua kali seminggu yaitu hari sabtu dan minggu pada pagi hari hingga sore hari. Tempat yang digunakan berpindah pindah antara satu desa ke desa yang lain. Tapi yang sering digunakan yaitu diarena khusus di Kecamatan Tapen 16 KM ke arah timur Kota Bondowoso
Beberapa aturan yang ada dalam aduan sapi yaitu antara lain yaitu, Aturan untuk memastikan perlunya gendhing (mencari lawan) di tengah gelanggang. Ini terutama buat peserta pemilik sapi yang belum menemukan lawan. Di arena pemilik sapi bisa mencari lawan yang cocok dan sepadan. Dalam aduan tersebut pertarungan antara dua sapi ditetapkan dalam satu ronde yang mana satu ronde tersebut di hitung 6o menit atau satu jam. Dan seekor sapi hanya diperbolehkan bertanding sekali dalam seminggu, misalnya jika minggu ini sapi menang, maka minggu berikutnya pemiliknya boleh mencarikan lawan lagi. Kekalahan seekor sapi diukur bukan dari banyaknya darah mengucur atau tanduk yang patah. Melainkan, sapi yang lari sembari nungging alias ekornya mengibas-ngibas ke atas, itulah yang dinyatakan kalah.
Cerita unik tentang pemilik sapi aduan yang sangat fanatik yaitu kadang-kadang terkesan para pemilik sapi itu lebih mementingkan sapinya daripada anak. Bahkan bagi penggemar atau pemilik sapi yang kurang mampu atau yang tak mampu, barang-barang rumah tangga bisa dilego untuk menutup biaya hidup sapinya. Inilah tradisi yang sudah mengakar, yang bisa dianggap aneh oleh yang tak memahaminya.
Keunikan lain tentang aduan sapi warisan Ki Ronggo ini yang sangat berbau mistis yaitu demi kemenangan sapi miliknya, mereka mendatangi dukun atau pergi ke makam-makam keramat. Bahkan seorang pemilik sapi dari Situbondo, mengaku telah bersilaturahmi mengunjungi K.H. As’ad Syamsul Arifin di pondok Sukorejo, Situbondo untuk mendapatkan restu supaya dalam pertandingan di beri kemenagan oleh Allah SWT. Di Bondowoso, makam Ki Ronggo lah yang ramai dikunjungi para penggemar sapi aduan. Ada yang sampai bermalam di sana, menunggu wangsit. Yang bermoral kurang kuat, lalu bermain kasar menggunakan guna-guna untuk melumpuhkan sapi lain. Karena itu, penjagaan sapi-sapi tangguh menjelang pertandingan, dilakukan secara secara ketat. Seekor sapi bisa dijaga 5 sampai 10 orang lelaki untuk menjaga hal hal yang tidak di inginkan. Dan apabila ada orang yang tak di kenal jangan coba coba untuk mendekat karena dapat menimbulkan kecurigaan. Dan bila demikian, percekcokan mudah tersulut. Dulu, carok (pertarungan antar manusia) sering terjadi menjelang pertandingan. Sebab, sering terjadi, sapi-sapi yang tatkala dilatih tangguh tetapi ketika di arena hanya diam saja, hingga sapi lawan bisa dengan mudah melumpuhkannya. Sapi-sapi yang pasif ini dipercayai telah terkena guna-guna. Oleh karena itu peserta adu sapi membawa dukun untuk menghindarkan kecelakaan serupa itu. 
Hingga menjelang pertarungan, ada saja cara guna menambah keberingasan dan semangat tempur sapi. Minuman keras acap kali diberikan kepada sapi beberapa menit sebelum turun gelanggang. Rupanya, sapi teler semangat tempurnya diyakini lebih optimal. Bukan bahan minuman keras, disediakan terung merat (jenis terung khusus yang membuat sapi mabuk). Juga madu jamu-jamu yang ramuannya dirahasiakan dan juga para pemilik berbekal sambal dapur untuk dioleskan ke sekujur pantat dan kemaluan sapi. Kadang kadang juga dibubuhkan ke telinga dan mata sapi yang hendak diadu. Sehingga sapi tersebut mengalami kepanasan dan pantas  jika sebelum bertanding sapi sapi bertingkah seperti kena setrum karena kepanasan.
Di zaman kolonial, Bondowoso dijadikan Belanda sebagai tempat peristirahatan seperti Malang. Dikisahkan, Ratu Wilhelmina bahkan sempat berkunjung ke Bondowoso untuk menyaksikan aduan sapi. Menurut penuturan sesepuh Bondowoso yang masih hidup sampai sekarang, di tahun 1920-an itu rombongan Ratu menyaksikan adu sapi yang diselenggarakan rakyat, di tengah alun-alun. Didahului dengan tari pecut yang gemulai, ditarikan oleh gadis-gadis Madura, konon, Ratu sangat terpesona oleh aduan sapi tersebut. Ratu Wilhelmina sempat tersenyum-senyum sembari menepuk-nepuk bahu ajudannya karena melihat tingkah sapi yakni yang tidak mau bertarung, lalu menunggangi lawannya dari belakang. Tapi Ratu pun bisa begitu tegang, setelah menyaksikan pelipis seekor sapi berdarah, karena tulang tanduknya patah, kata seorang nenek di Bondowoso.
Tetapi pertunjukan ini ada hal negatif yang tak bisa di pisahkan ketika acara ini berlangsung yaitu aduan sapi ini dekat sekali dengan perjudian, para pejudi berkumpul dan taruhan ketika ada pertunjukan aduan sapi ini. Ini merupakan kebiasaan buruk yang membudidaya di masyarakat hingga sekarang, padahal KI Ronggo tak pernah mengajarkan perjudian dalam aduan sapi ini. Seorang warga keturunan Ki Ronggo berkomentar, “Memang benar Ki Ronggolah pendiri Bondowoso, beliau mewariskan tradisi aduan sapi ini, tapi beliau tak pernah mengajarkan dan tak memperbolehkan berjudi dalam tradisi aduan sapi ini,” katanya.
Namun seiring perkembangan jaman budaya ini semakin punah, dan di perjelas juga dengan di keluarkannya Peraturan Daerah Nomor 19 tahun 2002 tentang larangan Budaya Aduan Sapi. Larangan keras juga dikeluarkan oleh Pemkab, DPRD, Tokoh Masyarakat, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bondowoso. Menurut mereka budaya ini lebih banyak mengandung unsur perjudian dibandingkan kebudayaan. Namun larangan ini banyak menimbulkan masalah, sebab 75 % masyarakat Kabupaten Bondowoso sangat mengagumi budaya ini. Tidak hanya itu, kunjungan turis pun ke Kabupaten Bondowoso mengalami penurunan karena punahnya budaya ini.
3.3 Pelestarian Budaya Aduan Sapi
Budaya Aduan Sapi merupakan budaya yang mempunyai  nilai budaya yang harus dilestarikan dan dimunculkan lagi saat ini. Memang penyebab punahnya budaya ini dikarenakan banyak hal yang terasa sulit apabila tidak dilakukan bersama-sama, baik dari masyarakat maupun pihak Pemerintah sendiri.
Untuk masyarakat hal yang harus dilakukan yaitu dengan cara melakukan promosi-promosi agar budaya ini semakin dikenal luas, tidak hanya di dalam Kabupaten Bondowoso tapi diluar Kabupaten pun dikenal, bahkan sampai ke luar negeri. Selain itu yang terpenting yaitu mengusahakan atau meminta kepada jajaran Pemda agar larangan terhadap Aduan Sapi dicabut.
Sedangkan untuk pihak Pemerintah yang harus dilakukan yaitu mencabut Peraturan Daerah Nomor 19 tahun 2002 tentang larangan Budaya Aduan Sapi dan membantu masyarakat dalam mempromosikan Budaya Aduan Sapi.



BAB III
KESIMPULAN
3.1   SIMPULAN
1.   Sejarah Budaya Aduan Sapi berawal dari perjalanan Ki Ronggo yang menelusuri bukit, ngarai, lembah-lembah yang curam hanya dengan membawa sapi jantan, jagung, dan padi yang ditaburkan sepanjang jalan. Sampai disuatu tempat yang becek, Ki Ronggo kemudian menyuruh santri-santrinya untuk mengeraskan tanah tersebut. Sembari melaksanakan tugas, para santri menghibur diri dengan mengadu sapi. Lahan itu kini menjadi alun-alun Kota Bondowoso. Sekarang Aduan Sapi berubah menjadi tradisi dan tontonan yang menghibur bagi masyarakat.
2.   Budaya Aduan Sapi mempunyai keunikan tersendiri yaitu hanya satu-satunya di Jawa Timur, sebelum dilaksanakan pertunjukan terlebih dahulu disuguhkan tarian khas Pulau Madura, dan tingkah laku sapi yang lucu pada saat pertunjukan juga merupakan salah satu keunikan budaya ini. Hal inilah yang membuat sebagian besar warga Kabupaten Bondowoso dan turis luar negeri mengagumi Budaya Aduan Sapi.
3.   Ada dua unsur yang mempunyai peran penting untuk melestarikan Budaya Aduan Sapi yaitu Masyarakat dan Pemda Kabupaten Bondowoso.
3.2 SARAN
1.   Seluruh elemen masyarakat termasuk pemerintahan harus mengetahui bagaimana sejarah lahirnya Budaya Aduan Sapi ini agar bisa melestarikan dan menjaga budaya ini agar tidak punah.
2.   Tidak mencampur adukkan budaya dengan perjudian.
3.   Bangga dengan budaya bangsa sendiri, agar tidak punah dan terpinggirkan dengan budaya luar yang tidak sesuai dengan kehidupan bangsa.







DAFTAR PUSTAKA