Dhavier's Blog
Rabu, 11 Mei 2016
Jumat, 22 April 2016
Review Disertasi Sartono Kartodirdjo “The Peasants’ Revolt Of Banten In 1888”
REVIEW
DISERTASI
SARTONO KARTODIRDJO
“THE
PEASANTS’ REVOLT OF BANTEN IN 1888”
(PEMBERONTAKAN
PETANI BANTEN 1888)
Disertasi berjudul: THE PEASANTS’ REVOLT OF BANTEN IN 1888 Sartono Kartodirdjo, yang
telah berhasil mempertahankannya untuk meraih gelar Doktor pada “Academisch Proeschrift ter verkrijging van
de Graad van Doctor in de Letteren Aan de Universiteit van Amsterdam”,
sebagai promotornya ialah Prof. Dr. Wertheim, (jumlah halaman 377 cetak dalam
bahasa Inggris).
Pemberontakan petani (Peasants’ Revolt), istilah ini bukan
berarti pesertanya terdiri dari petani semata-mata. Sepanjang sejarah
pemberontakan-pemberontakan petani, pemimpinnya jarang sekali petani biasa.
Mereka berasal dari golongan penduduk biasa yang lebih berada, dan lebih terkemuka dan mereka adalah
pemuka-pemuka agama, anggota kaum ningrat, atau penduduk desa yang terhormat.
Jadi orang-orang yang statusnya memudahkan penilaian mengenai tujuan suatu
gerakan dan yang dapat berfungsi sebagai suatu fokus identifikasi simbolis.
Dapat dikatakan pemberontakan yang terjadi pada abad XIX di Indonseia dapat
dikatakan sebagai pemberontakan petani yang murni.
Pemberontakan petani Banten studi
ini,terjadi di distrik Anyer. Pemberontakan ini relatif singkat terjadi dari
tanggal 9 sampai dengan 30 Juli. Pemberontakan ini hanya merupakan satu
diantara serentetan peristiwa yang telah terjadi di Banten selama abad XIX.
Sesungguhnya abad XIX merupakan periode pergolakan sosial yang menyertai
perubahan sosial sebagai akibat pengaruh Barat yang semakin kuat. Suatu
modernisasi perekonomian dan masyarakat politik yang semakin meningkat. Seluruh
proses peralihan dari tradisionalitas ke modernitas di tandai oleh
goncangan-goncangan sosial yang silih berganti dan menyerupai pemberontakan
tahun 1888 di Banten. Pemberontakan-pemberontakan di hampir semua karesidenan
di Jawa dan daerah-daerah kerajaan, memperlihatkan karakteristik yang sama.
Pemberontakan- Pemberontakan itu, bersifat tradisional, lokal atau regional,
dan berumur pendek. Selain itu, tidak mempunyai ciri-ciri modern seperti
organisasi, ideologi-ideologi modern dan agitasi yang meliputi seluruh negeri.
Sebagian bersifat lokal, berkeinginan menggulingkan pemerintah, tetapi mereka
tidak menyadari kalau gerakannya bersifat revolusioner.
Pemberontakan-pemberontakan ini
mempunyai arti penting, dampaknya terhadap perkembangan politik, dalam fakta
bahwa kejadian endemik selama abad XIX dapat dipandang sebagai suatu
manifestasi dari pergolakan agraris yang merupakan arus bawah dari alur
perkembangan politik selama periode “Pax
Neerlandica”.
Dalam kerangka kontak kebudayaan Barat
dengan kebudayaan Indonesia, pemberontakan petani dapat dipandang sebagai
gerakan-gerakan protes terhadap masuknya perekonomian Barat yang tidak
diinginkan dan terhadap pengwasan politik, dua hal yang merong-rong tatanan
masyarakat tradisional. Dengan mulai berlakunya perekonomian uang, timbul buruh
upahan dan ditegakannya administrasi pusat, maka terjadilah keruntuhan umum
struktur ekonomi dan politik tradisional. Terganggunya keseimbangan lama
masyarakat tradisional tidak disangsikan lagi telah menimbulakn frustasi dan
rasa tersingkir yang umum, dan
perasaan-perasaan itu, jika dikomunikasikan, lalu berkembang menjadi keresahan
dan kegelisahan yang meluas. Di daerah-daerah agama memainkan peranan yang
dominan, pemimpin-pemimpin agama dengan mudah menempati kedudukan sebagai
pemimpin dalam gerakan-gerakan rakyat dengan membungkus pesan milenari mereka
dengan pesan keagamaan. Oleh karena itu,
gerakan-gerakan pemberontakan yang mereka lancarkan itu juga dapat
dianggap gerakan keagamaan dan gerakan milenari.
Studi ini, menyorti gerakan-gerakan
pemeberontakan di daerah yang paling rusuh di Jawa yakni Banten. Pemberontakan
ini dipilih, sebagai gejala khas dari perubahan sosial dan perkembangan yang menyertainya,
yakni pergolakan sosial, yang begitu menonjol di Jawa abad XIX
Suatu pendekatan struktural terhadap
sejarah Indonesia akan dapat memerikan sorotan yang lebih jelas mengenai
pelbagai segi masyarakat Indonesia dan pola-pola perkembangannya. Pendekatan
ini untuk sebagian akan dapat meniadakan prasangka historigrafi kolonal yang
Belanda sentris di satu pihak dan dipihak lain akan memungkinkan kita untuk
mengkonstruksi pola-pola sejarah di dalam suatu kerangka referensi yang
Indonesia sentris.
Pendekatannya bisa dilakukan
pelbagai jalur metodologi atau perspektif teoritis dan juga terpenting adalah
jalan atau perspektif ekonomis, sosiologis, politikologis dan
kultural-antropologis. Untuk tujuan analisis sejumlah aspek dari
fenomen-fenomen yang kompleks yang diisolasikan akan tetapi ini hasur dlakukan
sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan distorsi pada konteks yang
bersangkutan. Ditinjau dari segi insiden-insiden yang menentukan urutan-urutan
insiden yang menentukan hubungan sebab-akibat diantara faktor-faktor variabel,
apakah itu ekonomis, sosial, politis atau keagamaan. Arti penting yang relatif
harus diberikan kepada suatu faktor kausal tertentu yang diterminan dari
gerakan sosial itu. Sifat-sifat gerakan-gerakan sosial menghendaki agar penjelasan
genetis dilengkapi dengan penjelasan analitis. Dalam hal ini ditambahkan pada
pendekatan historis, yaitu disiplin-dipsiplin lain seperti sosiologi,
antropologi sosial, dan ilmu politik berada pada kedudukan yang lebih baik
utnuk menganalisa fenomena gerakan-gerakan sosial. Konstruksi-konstruksi
konseptual atau teori-teorinya mempunyai daya menjelaskan yang lebih besar
daripada penuturan sejarah yang polos.
Dalam menganalisis konflik-konflik
sosial di dalam masyarakat Banten, harus memperhatikan sistem-sistem nilai
tradisional dan keagamaan, sebagai satu kekuatan konservatif yang menentang
westernisasi. Masyarakat Banten terdiri dari golongan-golongan yang saling
bersaing, bersifat antagonistis dan bersengketa satu sama lain, sehingga
menyeret masyarakat ketitik kekacauan.
Gagasan milenari yang digunakan oleh
pemimpin-pemimpin agama untuk menghasut rakyat agar memberontak dapat
dijelaskan dari sudut pandang sosiologi
dan antropologi sosial atas dasar suatu orientasi keagamaan atau ideologi
golongan-golongan yang merasa dirugikan, yang bertujuan memulihkan apa yang
mereka anggap sebagai tatanan tradisional.
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini lebih menganggalkan sumber data dokumen yang di lacak dan
ditelusur di berbagai lembaga kearsipan dalam negeri seperti ANRI dan lemabga
lain di luar negari yang membutuhkan ketekunan dan ketangguhan dalam bekerja
riset sejarah. Metodologi didasarkan atas prinsip tentang perlunya memandang
suatu gerakan sosial seperti ini dari perspektif waktu dan perkembangan,
sebelum dapat diadakan perbandingan sistematik atau analisis teoritis. Analisa
terakhir bertujuan untuk menyoroti konfigurasi- konfigurasi dan memperbesar
dimenci-dimensi gerakan.
Pembahasan masalah. Dalam hal ini
penulis pada bab 2, akan menunjukan hubungan antara orientasi ideologis
gerakan-gerakan itu dan golongan sosial dari mana gerakan-gerakan itu
memperoleh anggota. Dalam bab 3, masalah dampak umum kekuasaan formal Belanda
terhadap sistem politik di Banten akan merupakan pokok perhatian. Adanya
kekuasaan Belanda secara berdampingan inilah telah menimbulkan situasi politik
yang semakin tidak stabil. Hal itu tercermin pada pemberontakan-pemberontakan
yang sering terjadi. Pemerintah kolonial secara berangsur-angsur membangun
sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan legal rasional kepada
rakyat. Kaum bangsawan yang sudah menjadi miskin dan pemimpin-pemimin agama
lalu merupakan kekuatan-kekuatan yang melawan penguasa-penguasa kolonial.
Selanjutnya pada bab 4, pergolakan
sosial yang kronis merupakan salah satu gejala disintegrasi masyarakat Banten
setelah runtuhnya kesultanan Banten. Ia merupakan ketidakstabilan sistem
politik yang berlangsung di Banten sejak kuartal pertama abad XIX.
Dalam bab5, dijelaskan suatu kebangkitan
kembali agama meluas keseluruh pulau Jawa dan bagian-bagian besar Indonesia
selama pertengan kedua abad XIX. Berikutnya dalam bab 6, disajikan suatu
laporan tuturan mengenai peristiwa-peristiwa penting yang mendahului ledakan
pemberontakan itu, mulai dari tahap pendahuluan untuk mengobarkan semangat
massa sampai ke tahap formal persiapan yang sesungguhnya. Keresahan umum
memanifestasikan dirinya dalam agitasi yang meningkat di kalangan murid-murid
sekolah agama, dalam perjalanan dilakukan oleh para guru agama/ulama untuk mengunjungi
pusat-pusat lembaga keagamaan diberbagai daerah di pulau Jawa dan meningkatnya
prestise dan pengaruh kaum ulama di klangan petani. Selain itu di dalam
lingkunan tarekat-tarekat orang semakin ramai berbicara pemeberontakan dan
“perang jihat”. Semua fenomen itu, dapat dipandang sebagai gejala permulaan
suatu gerakan revolusioner. Dengan semakin meningkatnya kegiatan-kegiatan di
kalangan kaum ulama, sementara perhatian rakyat dipusatkan kepada gagasan
Perang Suci, dan kepada harapan akan kembalinya kesultanan.
Bab 7, melukiskan pemeberontakan yang
sebenarnya yang meletus pada malam hari
tanggal 9 Juli 1888. Pemberontakan utama terjadi di Cilegon tempat
pemusatan pemberontakan terbesar meledak dalam tindakan kekerasan, pembunuhan,
penganiayaan dan perampokan. Teror menandai periode yang sangat singkat itu,
Cilegon diduduki oleh kaum pemberontak. Dalam bab 8, membahas tahap akhir
pemberontakan dan terutama mengenai usaha menolong korban-korban yang selamat
dari pertumpahan darah dan pengejaran terhadap pemimpin-pemimpin pemberontakan
yang memakan waktu lama. Pada bab10, pokok utama, diantara tidakan-tindakan
drastis yang diambil oleh pemerintah adalah menempatkan pasukan-pasukan kecil
ditempat yang dianggapnya sebagai pusat pemberontakan, pemecatan terhadap
pejabat-pejabat yang dianggap bersalah melakukan tindakan-tindakan
sewenang-wenang dibidang administratif sehingga
menimbulkan perasaan tidak puas dan
kebencian dikalangan rakyat, pencabutan ketetapan-ketetapan dan
peraturan-peraturan mengenai pemungutan berbagai pajak. Selain itu pemerintah
juga mengambil tindakan-tindakan jangka panjang untuk mencgah terulangnya
pemberontakan.
Skala gaerakan dan faktor-faktor yang
relevan. Suatu penjelasan skala gerakan pemberontakan dan operasi-operasinya
mencakup beberapa faktor sebagai berikut: (1) di Banten terdapat tradisi untuk
memberontak; (2) di daerah ini terdapat satu aspek ketegangan yang berlangsung
terus menerus, yang bersumber pada keadaan dimana satu lapisan besar penduduk
mengalami ketersingkiran politik dan kehilangan privilese mereka; (3) dampak penetrasi ndominasi kolonial
secara berangsur-angsur mengacaukan kehidupan agama; (4) ada satu pimpinan
revolusioner, yang memberikan landasan rasional kepada gerakan pemberontakan
itu; (5) satu alat keorganisasian telah diciptakan untuk mengerahkan
operasi-operasi dan mobilitas sumber-sumber daya manusia dan material mnurut
ruang dan waktu.
Berusaha meniadakan hal-hal yang dirasa
tidak adil, menyakitkan hati atau yang dianggap penindasan melalui pemberontakan
bersenjata udah merupakan tradisi Banten. Anad XIX menyaksikan bangkitnya
revolusionisme tradisional terutama antara tahu 1800 dan 1850 huru hara yang
bersifat pemberontakan susul menyusul
secara teratur, dan mencapai puncak intensitasnya dalam tahun 1850.
Kerusuhan-kerusuhan itu masih merupakan hal yang endemik selama dua dasa warsa
berikutnya. Kemudian geraka-gerakan
lebih lanjut yang memuncak dalam ledakan besar tahu 1888. Kebangkitan
revolusionerisme bukan hanya mencerminkan kondisi-kondisi yang ditimbulkan oleh
dominasi kolonial, oleh karena pra kolonial pun gerakan-gerakan protes sudah
dikenal. Berulangnya gerakan-gerakan memunculnya elite revolusioner yang
anggotanya dari generasi ke generasi memainkan peranan yang sedikit menonjol
dalam pemberontaka-peberontakan berikutnya. Keluarga yang melahirkan
tokoh-tokoh revolusioner: Jakaria, Urip danWakhia yang secara tradisional
merupakan titik pusat pemberontakan di Banten. Idealisasi tokoh-tokoh
revolusioner sudah merupakansatu tradisi
yang merakyat.
Masyarakat Banten pada abad XIX berada
dalam tahap peralihan, maka ketegangan-ketegangan lama menggejolak
kembaliterutama golongan-golongan yang telah kehilangan kedudukan mereka yang
tradisional. Fakta yang menyakitkan, yakni hilangnya privilese dan penghinaan
kolektif yang tak bisa dielakan lagi pada zaman pemerintahan kolonial, telah
menimbulkan dendam dan frustasi yang mendalam di kalangan golongan-golongan
itu.
Di alam masyarakat kolonial
ketidakcocokan tajam antara asepek-aspek tertentu dari praktek keagamaan
tradisional dan lembag-lembaga kolonial yang menimbulkan perasaan getir
dikalangan pribumi, yang merasa kebudayaan mereka sendiri akan mengalami
kemunduran. Mereka dirasuki perang sabil melawan kekuasaan orang-orang kafir,
menginginkan dipulihkan kekuasan tradisional, dan mengobarkan permusuhan
terhadap kolonial.
Elite agama telah mandapat peran untuk
memimpin gerakan pemberontakan tahun1888 dan otoritas mereka yang karismatik
merupakanunsur penting dalam usaha membina pertumbuhan gerakan itu. Pimpinan
karismatik diperlukan dalamgerakan-gerakan itu. Disamping tingkat keresahan
sosial yang tinggi dan tidak adanya cara-cara yang syah untuk meyatakan protes
dalam masyarakat Banten. Salah satu kekuatan utama gerakan pemberntakan
terletak dalam kenyataan bahwa gerakan itu dapat menggunakan Sufi sebagai
landasan organissinya.
Beberapa aspek proses modernisasi, yang
menarik dalam gerakan-gerakan revolusioner yang tradisional ke modernitas.
Pemberontakan Banten dapat dipandang sebagai ekspresi protes sosial terhadap
suatu penyesuaian negatif kepada perubahan sosial yang dipaksakan oleh dominasi
Barat. Proses modernisasi dan gejala
yang menyertainya, yakni sekularisasi dan alkuturasi, dengan sendirinya
menimbulkan perpecahan sosial, mulai dari sikap menyesuaikan diri sampai kepada
sikap menolak.
Aspek Nativistik, maslah lain dalam
gerakan pemberontakan. Daya tarik gagasan-gagasan pemulihan kesultanan di satu
pihak, dann gagasan eskatologis Islam di lain pihak. Gagasan tentang Imam Mahdi
memberikan kompensasi yang serasi dalam menghadpi situasi yang sulit, seperti
penderitaan fisik, frustasi yang diakibatkan oleh kehadiran penguasa asing atau
dekadensi moral. Berusaha menghidupkan kembali kebudayaan masa lampau digunakan
sebagai lambang-lambang kejayaan masa lampau untuk menandaskan nilai-nilai
bersama dan loyalitas-loyalitas dasar; aspek itu juga memperlihatkan unsur
utama dari regenerasi atau revitalisasi seperti penumbangan kekusaaan asing dan
pemulihan tatanan tradisional yang
dipahami sebagai dunia baru dimana bangsa yang berkadilan akan hidup
dalam keserasian dan kesejahteraan.
Aspek
“keadaan ketersingkiran” (“a state
of devripation”), menyangkut aspek sosio-psikologis gerakan itu, adalah
dapat tidaknya gerakan itu dijelaskan dari segi keadaan tersebut.
Aspek agama, pandangan orang
Bantendidasarkan pada agam dan sebagai akibatnya maka protes-protes sosial
selalu dipahami menurut pengertian agama. Oleh kaena itu, maka protes-protes
politik mengambil bentuk keagamaan, dana batar-batas persoalan politik dan
agama sedikit banyak menjadi tumpang tindih. Masyarakat muslim tidak mengadakan
pembedaan antara persoalan politik dengan persoalan agama. Oleh karena itu
ledakan pemberontakan harus dipandang sebagai religio-politis terhadap
penguasa-penguasa kolonial dan bukan karena kekerasan rasial.
Ciri-ci khas gerakan pemberontah Banten
secara umum sbb: (1) penolakan dan perlawanan aktif terhadap dominasi asing serta
lembaga-lembaga yang menyertainya; (2) ideologi islam merupakan tujuan yang
sebenarnya direncanakan oleh pemimpin-peimpin pemberontakan tahun 1926. (3)
gerakan-gerakan pemberontakan di Banten berlandaskan penduduk pedesaan, terdiri
dari kaum tani dan golongan lain dari pedesaan; (4) unsur yang menonjol dalam
pergolakan-pergolakan dari kaum bangsawan dan anggota-anggota kelas terhormat
yang telah kehilangan kekayaan mereka, serta gerombolan bersenjata yang telah
mengembara. Peran pemuda dalam gerakan keagamaan semakin meningkat mencampai
puncaknya dalam gerakan pemberontakan tahun 1888. Hal yang menarik pemimpin pemberontakan
komunis tahn 1926 di Banten adalah bergelar haji: (5) tidak ada hal yang
bercirikan gerakan usia tua yakni mesianis yang tradisional yang terdapat dalam
kebudayaan Jawa.
Minggu, 27 Maret 2016
RESENSI BUKU "Carok:Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura"
RESENSI BUKU
CAROK
Konflik
Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
Prof. Dr. Latif Wiyata
A.
Pendahuluan
Buku
ini merupakan hasil suntingan dari diseratsi penulis berjudul Carok:
Institusionalisasi Kekerasan dalam Masyarakat Madura, yang dipertahankan di
depan senat Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tahun 2001 untuk memperoleh
derajat Doktor dalam Ilmu Sastra, Program Studi Antropologi Budaya.
Mempertimbangkan
bahwa jumlah informasi tentang masyarakat dan kebudayaan Madura sampai saat ini
boleh dikatakan masih sedikit, maka penulis tergerak untuk menerbitkan
disertasi ini yang kemudian di bukukan dan diterbitkan oeh LKIS Yogyakarta.
Akhirnya,
penulis berharap agar di balik konflik kekerasan atau carok yang menjadi tema
utama dalam buku ini dapat dipetik hal hal positif sehingga makna masyarakat
dan kebudayaan Madura dapat dipahami secara lebih proporsional dan kontekstual.
B. Identitas Buku
Judul Buku : Carok, Konflik Kekerasan dan Harga
Diri Orang Madura
Nama Penulis : Abdul Latief Wiyata
Tempat Tanggal Lahir : Sumenep, tahun 1958
Riwayat Pendidikan : SD Sumenep tahun 1963
SMP di Pamekasan tahun 1966
SMA di Bangkalan tahun 1969
FISIP Universitas Jember tahun 1975
PASCASARJANA (Sosiologi) di
FISIP UI tahun 1984
DOKTORAL (Antropologi) di UGM tahun 2011
Pekerjaan : Dosen tetap di Prodi Sosiologi
FISIP UNEJ
Penerbit
: LKIS Yogyakarta
Cetakan
: Cetakan I Maret 2002
Jumlah
Halaman : xxxii+266
halaman; 14,5 × 21 cm
ISBN
: 979-9492-67-X
C.
GARIS
BESAR ISI BUKU
BAB I Pendahuluan
a.
Latar
belakang
Pada
umumnya, orang luar Madura cenderung mengartikan setiap bentuk kekerasan (baik
yang berakhir dengan kematian atau tidak) yang dilakukan oleh orang madura
sebagai carok. Padahal dalam kenyataan tidak demikian. Penulis (Dr. A.Latief
Wiyata), sebagai seorang anak dari keluarga Madura yang dilahirkan dan di
besarkan di Madura sejak kecil telah sering mendengar tentang carok. Menurut
informasi pada waktu itu, carok selalu dilakukan oleh sesama laki laki dalam
lingkungan orang orang desa.
Setiap
kali terjadi carok hampir semua orang memperbincangkannya, siapa yang menang (se menang) dan siapa yang kalah atau
terbunuh. Mereka tidak pernah menyebut istilah pembunuh bagi pelaku carok yang
berhasil membunuh lawannya. Bahkan, mereka pun tidak pernah mengecam atau
mengutuk pelakunya.
Hal
ini sanagat berbeda jika dibandingkan dengan suatu peristiwa pembunuhan yang
dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya yang terjadi di suatu wilayah
Kabupaten Sumenep sekitar pada tahun 1960 an. Semua penduduk di desa tersebut
menyebut suami itu sebagai pembunuh yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Berdasarkan
uraian tersebut, jelas sekali bahwa tidak semuanya pembunuhan yang terjadi di
Madura dapat disebut Carok. Menurut De Jonge (1995), orang madura mempunyai
pengertian sendiri yang tidak sama dengan pengertian orang luar. Karena adanya
pengertian seperti itu, tindakan kekerasan yang disebut carok selalu memberi kesan menakutkan pada orang
luar. Kesan ini, khususnya oleh banyak ilmuan sosial, cenderung dipakai sebagai
salah satu alasan tidak mau mengadakan penelitian di Madura. Pada gilirannya,
studi yang secara khusus mempelajari tentang carok masih belum banyak
dilakukan, dan sampai saat penulis (Dr. A. Latief Wiyata) memutuskan untuk
meneliti carok sebagai topik disertasi, belum pernah ada penelitian empiris
secara sistematis tentang kekerasan ini.
b.
Konsep
dan Teori tentang Kekerasan
Menurut Abbink (1994: 13-15), dalam
beberapa dekade terakhir, teori teori yang menekankan aspek mekanisme
kausalitas mulai banyak diperhatikan dalam kajian kajian Antropologi tentang
kekerasan. Teori itu antara lain: 1)Teori Ekologi kultural, 2)Teori materialis
kultural, 3)teori politik atau ekonomi politik, 4)teori biologi evolusi atau
bio sosial, 5)teori psikologis psikoanalitis, 6)teori deskriptif historis atau
partikularis, 7) teori simbolik.
Dari sekian banyak teori tentang
tindakan kekerasan, penelitian ini tidak a
priori untuk hanya memilih salah satu dari teori teori itu sebagai satu
satunya landasan analisis untuk memperoleh suatu deskripsi mendalam tentang
carok. Teori teori yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah yang
mempunyai relevansi dengan topik penelitian.
Dengan
demikian, teori teori yang memberikan fokus perhatian terhadap faktor sosio
kultural misalnya teori ekologi kultural yaitu teori yang lebih menekankan
perhatian pada hubungan manusia dengan lingkungan. Keterbatasan alam membatasi
ketersediaan sumber sumber pilihan tingkah laku akan menyebabkan konflik makna
dan akses terhadapsumber sumber ini. Teori ekologi kultural sangat berpengaruh
karena menempatkan faktor lingkungan sebagai penyebab konflik, kususnya dalam
masyarakat petani dan suku suku kecil. Kekurangan teori ini adalah reduksionis
dan bias fungsionalis (Hallpike, 1973).
Dan
juga setelah teori ekologi kultural yaitu teori materialistis kultural yang
dilandasi oleh aspek ekologi kultural yang menekankan pentingnya penjelasan
kausal insfrastruktur, hubungan antara kondisi material dan demografi,
organisasi kerja, interaksi dengan
lingkungan; kompetensi dan seleksi antara kelompok kelompok dalam
lingkungan ini, serta motivasi motivasi manusia dalam perang pertama kali
didorong oleh sumua faktor ini, bukan oleh keyakinan dan sikap sikap yang
terpola secara budaya (Ferguson, 1984:28-30).
Kedua teori tersebut dapat diterapkan,
meskipun tidak secara kaku, dalam arti tetap disesuaikan dengan kondisi kondisi
sosial budaya masyarakat Madura. Dengan kata lain, karena tindakan kekerasan di
Madura (Tak terkecuali Carok) selalu tergantung pada lingkungan sosial budaya
dari masyarakat.
c.
Metode
Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian etnografis yang mempelajari secara mendalam dan
holistik salah satu peristiwa sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat
Madura, yaitu carok. Esensi dari penelitian ini adalah memahami secara mendalam
arti atau makna peristiwa tersebut dalam suatu lingkungan budaya (Clifford,
1986:6-7). Agar peneliti terhindar dari bias etnosentrisme dan dapat melukiskan
suatu kebudayaan dalam betuk thick
description maka erlu memperhatikan perspektif emik dan perspektif etik.
Perspektif emik adalah deskripsi kebudayaan dari sudut pandang orang yang
diteliti, sedangkan perspektif etik adalah jika mensdeskripsikan kebudayaan
berdasarkan konsep konsep antropologi (Seymour-Smith, 1993:186). Dengan
demikian, melalui penelitian etnografis ini, makna carok akan dilihat secara
mendalam dan relasinya dengan kondisi kondisi sosial budaya Madura.
1. Memilih
Lokasi Penelitian
Meskipun
objek penelitian adalah peristiwa carok yang dapat ditemukan i seluruh kawasan
Madura, namun karena beberapa pertimbangan, penelitian dilapangan ini
difokuskan pada kasus carok yang terjadi di Kabupaten Bangkalan (Madura sebelah
Barat).
2. Metode
Pengumpulan dan Analisis Data
Langkah
awal pengumpulan data yang penulis lakukan adalah mengumpulkan berkas berkas
Berita Acara Penyidikan (BAP) berbagai peristiwa Carok di berbagai kantor
Kepolisian Sektor (Polsek). Langkah berikutnya, penulis melakukan penjajahan
dan pengamatan awal ke lokasi lokasi peristiwa carok yang terpilih dan
mewawancarai secara langsung, mendalam, dan intensif dengan para informan. Para
informan terdiri dari pelaku carok, paara kerabat mereka, teman dekat, dan para
tetangganya.
Informasi
juga digali dari para blater, kepala
desa, serta aparat keamanan dan lain lain yang dianggap membantu dalam
pengumpulan penelitian ini. Informasi informasi tersebut kemudian dikembangkan
untuk menggali informasi dari informan lain sehingga informasi tentang carok
bergulir semakin lengkap yakni dengan tehnik snow ball. Data kemudian di analisis secara kualitatif sehingga
menghasilakan suatu thick description dengan
memperhatikan 2 perspektif emik dan etik. Dengan demikian, makna makna yang
terkandung dalam carok dedapat mungkin diungkapkan agar dapat dipahami sesuai
konteks sosial budaya Madura.
BAB II Kondisi-Kondisi Sosial
Budaya Madura
a.
Letak
dan Keadaan Alam
Pulau
Madura terdiri dari 4 kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep.
Terletak di antara 7 LS dan 112° sampai 114° BT. Iklim di Madura
terbagi 2 musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Madura adalah wilayah
kering dan gersang karena selain faktor iklim yang panas dan kondisi tanahnya
yang berbatu kapur, juga sempitnya areal hutan, yaitu sekitar 6% dari luas
pulau. Oleh karena itu, sebagian besar lahan pertanian berupa tegal, yang
biasanya oleh penduduk ditanami jagung dan singkong. Bahkan tidak jarang lahan
pertanian ini dibiarkan begitu saja dan hanya berfungsi sebagai tempat mengembala
hewan ternak. Lahan pertanian berupa sawah pada umumnya masih bertadah hujan
sehingga petani hanya dapat menanam padi satu kali saat musim hujan.
b.
Penduduk
dan Mata Pencaharian
Menurut
data statistik yang dikeluarkan Kantor Statistik setempat, jumlah penduduk
seluruh madura pada tahun 1994 adalah 2.979.596 jiwa yang tersebar di 4
kabupaten dan dengan luas wilayah Madura 5.304 km2, kepadatan
penduduk Madura mencapai rata rata 561,8 per km2. Tingkat kepadatan
penduduk yang cukup tinggi serta keadaan tanah yang gersang dan tandus itu
menyebabkan kondisi kehidupan sosial ekonomi orang madura memprihatinkan.
Kondisi tersebut yang memprihatinkan tidak dapat dilepaskan dari jenis pekerjaan
pokok orang madura yang sebagian besar atau sekitar 70% - 80% bergantung pada
kegiatan agraris. Sehingga mudah dipahami jika orang madura termasuk salah satu
darah paling miskin di Indonesia.
c.
Pola
Pemukiman
Orang
madura yang bekerja di bidang pertanian pada umumnya sebagai petani tegalan,
berbeda denga orang Jawa yang pada umumnya sebagai petani sawah karena lahan
persawahan cukup luas atau dominan. Oleh karena itu, ekosistem di Madura
ditandai oleh pola pemukiman penduduk terpencar dan mengelompok dalam skala
kecil. Pola pemukiman di madura ada dua yaitu pertam yang disebut kampong mejhi dan taneyan lanjeng.
kampong mejhi adalah
kumulan kumpulan atau kelompok kelompok pemukiman penduduk desa yang satu sama
lain saling terisolasi. Jarak antara satu pemukiman dan pemukiman lainnya
sekitar 1-2 km. Keterisolasian kelompok pemukiman ini menjadi semakin nyata
oleh adanya pagar dari beberapa pagar bambu yang sengaja di tanam di
sekelilingnya. Antara kelompok pemukiman yang satu dan lain biasanya
dihubungkan oleh jalan desa atau setapak. Pada setiap desa, khususnya di
kawasan luar kota dapat ditemukan antara 5-10 kampong mejhi. Setiap pemukiman kampong
mejhi terdiri dari 4-8 yang memanjang atau melingkar.
Konsekuensi
sosial kampong mejhi adalah
solidaritas internal antar masing masing anggota/penghuninya menjadi sangat
kuat. Apabila terjadi pelecehan harga diri terhadap salah seorang anggota
keluarga maka akan selalu dimaknai sebagai pelecehan harga diri terhadap semua
anggota keluarga. Lebih lebih jika pelecehan tersebut menimpa perempuan atau
istri, maka semua anggota keluarga dalam kampong
mejhi akan bereaksi. Reaksi yang muncul pada suami yang istrinya dilecehkan
atau diganggu selalu dalam bentuk tindakan kekerasan atau carok, yang pasti
akan didukung oleh semua anggota keluarga lainnya sebagai bentuk reaksi mereka.
Kemudian
pola lain adalah yang disebut taneyan
lanjeng. taneyan lanjeng hanya dibangun oleh suatu keluarga yang memiliki
banyak anak perempuan. Dalam sistem perkawinan, taneyan lanjeng mencerminkan anak perempuan madura matrilokal
yaitu, anak perempuan yang telah menikah tetap tinggal di pekarangan orang
tuanya. Memperhatikan struktur formasi dan dasar pembentukan pola pembentukan taneyan lanjeng, tampak jelas bahwa
dalam ideologi keluarga Madura, anak perempuan memperoleh perhatian dan
proteksi secara khusus dibandingkan dengan anak laki laki. Dari uraian tersebut
bahwa secara kultural sosial budaya Madura memberikan perhatian serta proteksi
secara khusus terhadap kaum perempuan.
d.
Stratifikasi
Sosial dan Tingkatan Bahasa
Secara
garis besar stratifikasi/ pelapisan sosial masyarakat madura meliputi 3 lapis
yaitu lapisan sosial paling bawah yang disebut dengan oreng kene’ atau oreng dume’ adalah sekelompok masyarakat biasa atau
kebanyakan, orang ini biasanya bekerja sebagai petani, nelayan, pengrajin, dan
lain sebagainya. Lapisan sosial menengah atau pongghaba meliputi para pegawai terutama yang bekerja sebagai
birokrat dan sejenisnya. Sedangkan lapisan sosial paling atas adalah para
bangsawan keturunan langsung raja raja.
Kemudian pelapisan sosial yang
mengacu pada dimensi agama, yaitu santre
(santri) dan benni santre (bukan
santri). Dalam konteks carok, peranan sementara kiai cukup dominan, para calon
pelaku carok mersa perlu nyabis kepada
mereka dengan tujuan memperoleh restu, juga untuk apaghar atau meminta azimat
untuk keselamatan dan kekebalan.
e.
Sistem
Kekerabatan
Ikatan
kekerabatan dalam masyarakat Madura terbentuk melalui keturunan keturunan, baik
dari keluarga berdasarkan garis ayah maupun garis ibu. Dalam sistem kekerabatan
masyarakat Madura dikenal 3 kategori sanak keluarga, yaitu taretan dalem (kerabat inti), taretan
semma’ (kerabat dekat), dan taretan
jeu (kerabat jauh). Di luar ketiga kategori ini disebut oreng lowar atau bukan saudara.
f.
Bhala dan Moso
Sebagaimana
pada kebudayaa lain, dalam kehidupan masyarakat Madura dikenal pula adanya
bentuk relasi sosial yang biasa disebut sebagai teman (kanca/bhala) dan musuh (moso).
Kedua macam bentuk relasi sosial ini berada dalam suatu rentang tingkat
keakraban, yang pada dasarnya masing masing berada pada titik ekstrim. Artinya,
teman merupakan relasi sosial dengan tingkat keakraban paling tinggi dan musuh
sebaliknya. Dengan demikian, kondisi kehidupan sosial budaya Madura tidak
selalu dalam suasana yang harmonis, tetapi diwarnai oleh suasana konflik.
Kondisi kehidupan harmonis ditandai oleh dominannya semangat pertemanan;
sebaliknya kondisi kehidupan yang bernuansa konflik ditandai oleh dominasi
perasaan pemusuhan.
Dalam
konteks ini, peristiwa carok pada dasarnya ,merupakan manifestasi dari relasi
sosial yang tingkat keakrabannya sangat rendah karena di dominasi secara
signifikan oleh rasa permusuhan. Dengan kata lain, peristiwa carok hanya akan
terjadi jika pelakunya berasa dalam kondisi bermusuhan.
BAB III Kasus - Kasus Carok dan
Motifnya
a.
Kasus
Kasus Carok bermotif gangguan terhadap istri
1. Cemburu
Membawa Mati
Dalam
kasus Carok ini yaitu Cemburu membawa mati adalah suatu peristiwa Carok yang
disebabkan oleh kecemburuan seorang suami yaitu yang bernama Kamaluddin (32
tahun) terhadap istrinya yang bernama Sutiyani (25 tahun) yang di sinyalir
selingkuh dengan orang lain yaitu yang bernam Mat Tiken (45), sehingga
Kamaluddin tersebut merasa sangat di lecehkan martabatnya karena istrinya selingkuh dengan Mat Tiken. Lalu dengan
bantuan Mokarram (38 tahun), Kamaluddin niat melakukan carok dengan Mat tiken
dengan cara ngongghai yaitu dengan
mendatangi rumah orang atau musuh untuk melakukan carok.
Namun
karena Mat Tiken termasuk orang jagoan maka carok ini berakhir dengan tewasnya
Kamaluddin dan Mokarram di tempat kejadian dengan sejumlah luka bacok di
sekujur tubuh mereka. Selesai menewaskan kedua musuhnya, Mat Tiken mengakui
pula merasa perlu untuk menjilat sisa sisa darah korbannya yang masih menempel
pada celuritnya. Selanjutnya, Mat Tiken menuju Kantor Kepolisian setempat untuk
melaporkan peristiwa carok sekaligus menyerahkan dirinya sebagi tersangka.
Penyerahan diri secara sukarela ini di akui selain ingin menunjukan rasa
tanggung jawab atas perbuatannya, juga sebagai upaya mencari perlindungan
terhadap aparat yang berwajib untuk mengantisipasi seandainya terjadi serangan balik
dari pihak keluarga korban.
2. Cemburu
dan Persaingan Bisnis
Pada
suatu hari sekitar pukul 18.30 WIB, beberapa tahun sebelum kegiatan penelitian
lapangan, telah terjadi peristiwa carok antara Ikhsan (48 tahun) dan adik
kandungnya, Matmun (46), melawan Mattasan (45). Peristiwa carok ini terjadi di
suatu jalan umum Desa Mongkoneng yang ada pada saat itu suasanya sangat sepi.
Latar belakang peristiwa carok ini adalah persaingan bisnis dan perasaan
cemburu. Menurut informasi, kedua jenis permasalahan yang melatarbelakangi carok
ini tidak muncul secara bersamaan. Persaingan bisnis yang terjadi antara Ikhsan dan Mattasan
terjadi lebih dahulu muncul, baru kemudian disusul oleh timbulnya persaan
cemburu pada diri Matmuni, karena Mattasan diketahui telah mengganggu istrinya,
Haliyah (29).
Mattasan
terbunuh seketika itu juga di tempat kejadian dalam keadaan yang sangat
mengenaskan karena diserang dengan cara nyelep
(menyerang lewat belakang tanpa di ketahui oleh musuhnya secara tiba tiba),
sedangkan Ikhsan dan Matmuni sama sekali tidak mengalami luka.
3. Cemburu
kepada Tetangga
Pada
hari Minggu pagi sekitar pukul 06.30 WIB, di suatu jalan Desa Mandangin telah
terjadi carok antara Bunawi (28) dengan Dahlan (32) yang berakhir dengan
tewasnya Dahlan di tempat kejadian. Dalam peristiwa carok ini, Bunawi menyerang
dengan cara nyelep. Latar belakang
permasalahan yang menjadi faktor pemicu terjadinya peristiwa carok ini adalah
karena Bunawi merasa cemburu dan marah kepada Dahlan. Menurut penilaian Bunawi,
Dahlan dianggap telah terbukti berselingkuh dengan istrinya, Masniyati (25).
Bunawi
dan Dahlan adalah penduduk Desa Mandangin. Mereka boleh dikatakan hidup
bertetangga karena jarak rumah antara kedua keluarga ini hanya sekitar 750
meter.
b.
Kasus
Kasus Carok bermotif selain Gangguan terhadap Istri
1. Mempertahankan
Martabat
Tepat
pada Kamis malam sekitar pukul 19.00, Aliwafa (22) terlibat carok dengan
Sumahwi (24). Kejadiannya di suatu jalan umum di suatu kota kecil bekas
kewedanan Billapora, yang masih termasuk wilayah Kabupaten Bangkalan. Keduanya
adalah pemuda lajang yang pekerjaan sehari harinya sebagai penarik becak.
Dengan cara nyelep, Aliwafa membunuh Sumahwi setelah
sebelumnya menuduh Aliwafa sebagai pencuri cincin.
Dan
juga bukan itu saja penyebabnya adalah sakit hati Aliwafa terhadap Sumahwi yang
selalu menyakiti hatinya Aliwafa secara terus menerus dan pada puncaknya ketika
Aliwafa tidak kuat untuk mengalah terus menerus dan dia dituduh mencuri cicncin
oleh Sumahwi tanpa bukti. Akibat perbuatannya membunuh Sumahwi, Aliwafa
dipidana dengan hukuman penjaraselama 5 tahun, dipotong masa tahanan sementara
selama 4 bulan. Aliwafa didakwa melanggar pasal 340 KUHP karena terbukti
melakukan pembunuhan terhadap Sumahwi yang telah direncanakan terlebih dahulu.
2. Merebut
harta Warisan
Pada
hari sabtu siang sekitar pukul 12.15 terjadi peristiwa carok antar Sulaiman
(40) dan Sami’an (50) di halaman sebuah pasar Kecamatan Kampar yang berakhir
dengan kematian Sami’an. Kedua pelaku Carok ini adalah satu keluarga dan
termasuk dalam kategori kerabat inti. Dalam lingkungan keluarga mereka,
sulaiman adalah keponakan dari Sami’an, sebab ibu Sulaiman, Halimah (60) adalah
kakak kandug dari Sami’an. Dengan demikian permusuhan antara mereka termasuk moso delem, pemicu carok ini adalah
masalah ketidakadilan dalam penguasaan harta warisan.
Yaitu
dimana, sami’an mengadaikan secara sepihak lahan pertanian milik kakaknya yaitu
Halimah tanpa persetujuan sehingga membuat Sulaiman tidak terima ibunya
diperlakukan seperti itu oleh pamannya. Tindakan Sami’an dianggapnya sebagai
pelecehan terhadap martabat orang tuanya. Mula mula selalu terjadi percekcokan
antar Sami’an dengan Sulaiman yang selalu bersitegang dan pada akhirnya
terjadinya Carok, dimana Sami’an berhasil dibunuh oleh Sulaiman. Dan pada saat
selesai Carok tersebut, seketika itu juga sulaiman melaporkan peristiwa tersebut
kepada aparat kepolisian dan mempertanggung jawab atas perilakunya.
3. Membalas
Dendam Kakak Kandung
Pada
suatu dini hari Rabu, sekitar pukul 01.00, telah terjadi peristiwa carok yang
melibatkan Tawil (21) dan Abidin (29), keduanya sama sama penduduk Pecorah.
Akibat bacokan Celurit Tawil, Abidin menderita luka luka parah pada kepala
bagian atas kiri, leher sebelah kiri, dan masih banyak lukanya sehingga tewas
seketika itu juga. Peristiwa carok ini disaksikan sendiri oleh Sutinah (25),
istri korban yang ketika kejadian berlangsung sedang tidur bersama suaminya
dirumahnya. Latar belakangnya adalah perasaan dendam Tawil kepada Abidin,
karena Abidin telah membunuh Samanhuri (27), kakak kandungnya sekitar 4 tahun
sebelumnya.
BAB IV Makna dan Konteks Sosial
Budaya Carok
Berdasarkan
data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian lapangan berupa enam kasus
Carok. Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan yaitu semua kasus carok di awali
konflik yang beragam, namun semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu
perasaan malu karena pelecehan harga diri, dan untuk memulihkan harga diri yang
dilecehkan mereka melakukan carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan dari
lingkungan sosial.
Sebelum
carok dilaksanakan, para pelakunya melakukan berbagai persiapan yakni adanya
sidang keluarga sebelum carok dilakukan yang semakin menegaskan bahwa carok
yang pertama merupakan konflik individual, yang kemudian menjadi konflik dalam
lingkup kolektif, kemudian yang dilakukan setelah sidang keluarga yakni
melakukan apa yang disebut tampeng
sereng, yakni seseorang yang kan melakukan carok tidak semata mata harus
mengandalkan kekuatan fisik, tapi juga harus memiliki kekuatan yang diperoleh
secara non fisik (Supranatural). Artinya seseorang yang akan melakukan carok
masih perlu apaghar (membentengi
diri) dengan tujuan agar pelaku carok semakin tebal dengan adu fisik dan juga
senjata tajam yang digunaka dalam carok.
Untuk
maksud itu, pelaku carok minta bantuan seorang kiai untuk meminta restu dan
kiai itu melakukan proses pengisian mantra mantra ke badan pelaku carok dan
mantra yang di isi kiai ini adalah yang bernafaskan Islam, berbeda ketika
seseorang yang akan carok pergi atau apaghar ke dukun, maka mantra mantra yang
akan di isikan berbeda dengan yang dilakukan oleh kiai, kemudian langkah
berikutnya adalah tersedianya dana. Dalam konteks ini, carok mempunyai dimensi
ekonomi. Biaya dalam kenyataannya memang merupakan persyaratan yang selalu
tersedia, sesuai dengan ungkapan “jangan melakukan carok jika tidak mempunyai
dana yang cukup yakni untuk proses nabang ketika menang dalam carok, untuk
keperluan apaghar ke kiai dan pembelian senjata tajam yang diperlukan dalam
carok. Sehingga dapat diartikan carok adalah suatu tindakan atau upaya
pembunuhan (karena ada kalanya berupa penganiayaan berat) mengunakan senjata
tajam yaitu Clurit dan sejenisnya dan dilakukan oleh orang laki laki terhadap
laki laki lain yang dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri
(baik secara individu sebagai suami maupun secara kolektif yang mencakup
kerabat atau mencakup kerabat atau keluarga), terutama berkaitan dengan masaah
kehormatan istri sehingga membuat malo.
Tindakan atau upaya pembunuhan untuk
menebus perasaan malo atau malu ini, selain mendapat dorongan, juga selalu
mendapat dukungan dan persetujuan sosial. Selain itu, carok merupakan media
kultural bagi pelaku yang berhasil mengalahkan musuhnya untuk memperoleh
predikat sebagai oreng jago menjadi
semakin tegas, sehingga keberhasilan dalam carok selalu mendatangkan perasaan
puas, lega, dan bangga bagi pelakunya. Namun dalam konteks legalitas, carok
merupakan manifestasi keberanian pelakunya melanggar aturan aturan yang telah
ditetapkan dalam hukum formal (KUHP). Dengan demikian, pengertian carok paling
tidak harus mengandung lima unsur, yaitu tindakan atau upaya pembunuhan antar
laki laki, pelecehan harga diri, perasaan malu, adanya dorongan atau dukungan
serta persetujuan sosial, perasaan puas dan bangga bagi pemenangnya.
D.
Diskusi
Kekurangan dan Kelebihan Isi Buku
Ketika
mendengar kata Madura, mungkin akan terbayang di sebagian besar orang carok
dengan clurit yang tajam dan meneteskan darah, soto, sate, dan ramuan Madura.
Di antara keempat hal itu, carok lah yang sering menimbulkan pertanyaan
yang belum terjawab secara tuntas. Di sisi lain, penilaian orang tentang carok
sering terjebak dalam stereotip orang Madura yang keras perilakunya, kaku,
menakutkan, dan ekspresif. Stereotip ini sering mendapatkan pembenaran ketika
terjadi kasus-kasus kekerasan dengan aktor utama orang Madura, karena stereotip
ini akan muncul ketika seseorang di luar etnis Madura tidak mengerti makna
secara mendalam makna Carok sebagai konflik kekerasan yang berkaitan erat
dengan harga diri seseorang kususnya harga diri orang Madura. Oleh karena itu
untuk memahami lebih mendalam tentang makna carok dan meminimalisir stigma
negatif atas etnis madura, maka penelitian dari Dr. Latif Wiyata ini sangat
penting sekali.
Ada beberapa alasan mengapa penelitian ini begitu
penting, yakni penelitian ini merupakan studi serius dan pertama kali dilakukan
yakni studi etnografis yang sanga rinci tentang 6 kasus Carok di Bangkalan.
Dimana pada sebelumnya, artikel artikel yang ditulis oleh orang lain tentang
topik ini tidak mempunyai dimensi empiris yang cukup dan komprehensif. Walaupun
publikasi yang ada sebelumnya telah membantu Dr. Latif Wiyata memahami dan
menemukan permasalahan pokok studinya secara lebih baik, dengan melakukan
perbandingan dan analisis mendalam terhadap beberapa kasus carok, Dr. Latif
Wiyata telah mampu memberi wawasan yang lebih luas (Huub de Jonge dalam Latif
Wiyata, 2002:ix-xi).
Buku ini telah menjawab beberapa pertanyaan pokok
tentang carok, seperti apakah carok, kapan orang madura mengambil jalan
kekerasan ini, apakah artinya kejadian ini bagi mereka, dan mengapa tindakan
ini di toleransi dan mendapat dukungan oleh sebagian besar masyarakat Madura.
Carok ini yang kita sebut sebagai sebuah pembelaan dan perlawanan pada
seseorang, carok ini dilakukan untuk membela dan menjaga harga diri seseorang
dihadapan banyak orang agar tetap bernilai. Begitulah masyarakat Madura
melakukannya ketika harga diri mereka merasa di coreng atau di hina maka orang
madura akan melakukan berbagai upaya pembelaan yakni carok, seperti semboyan
yang kita kenal dengan berbunyi “ango’an
poteya tolang etembang poteya mata” dengan arti lebih baik mati daripada
harus menanggung perasaaan malu.
Dalam buku tersebut Dr. Latif Wiyata secara mendalam
mengupas makna simbolis carok dalam konteks budaya Madura dengan asumsi bahwa
carok adalah suatu bentuk kekerasan yang memiliki latar dan pesan kultural yang
maknanya dapat terungkap bila carok dilihat dari konteks lingkungan
sosial-budaya masyarakat Madura. Kemudian Penjelasan dalam buku ini selalu
melibatkan beberapa bahasa Madura yang menjadikan pendukung bahasa
penulisannya. Hal ini dapat dilihat ketika penjelasan Carok selalu berawal dari
konflik yang melibatkan unsur pelecehan harga diri, maka dalam kultur Madura
berkaitan dengan konsep malo, yaitu ketika seseorang dianggap tidak diakui atau
diturunkan kapasitas dirinya sehingga dia merasa tade’ ajhina (tidak ada
harganya).
Dan terakir, menurut pendapat saya nilai lebih dari
buku ini sangat spesifik karena berhasil mengkolaborasi carok konstruksi
sosial, nilai dan norma, orientasi keagamaan, dan tradisi kekerasan yang sudah
lama mengakar dalam kultur Madura. Sehingga buku ini sangat layak dibaca untuk
para mahasiswa, akademisi dan pecinta budaya maupun yang lain lain dengan harapan
dari buku ini yakni, stigma negatif dan
sikap salah sangka terhadap orang Madura dapat diminimalisasi sehingga masa
depan Indonesia akan damai dan dapat tercapai dalam suasana pluralitas budaya
yang saling menghargai.
Selain buku ini mempunyai kelebihan, namun juga
memiliki kekurangan sebagaimana lazimnya tulisan awal, masih membutuhkan
penelitian lanjutan yang lebih mendalam dengan tunjangan data mutakhir.
Beberapa kekurangan dalam buku ini didasarkan dari buku maupun jurnal
penelitian tentang carok, yakni antara lain: Pertama, pada halaman 33-34 penulis menyimpulkan bahwa kondisi alam
Madura gersang dan tandus sehingga kondisi pertanian tidak subur dan berakibat
madura tidak produktif, namun menurut Samsul Ma’arif (2015: 191), keringnya
cuaca dan rendahnya curah hujan di Pamekasan maupun Madura secara keseluruhan
ruoanya lebih cocok untuk perumbuhan tanaman tembakau yang bisa menghasilkan
mutu terbaik. Tembakau madura bukan saja menjadi primadona bagi petani, tetapi
juga pengusaha rokok. Apalagi tembakau Madura dikenal memiliki kualitas yang
tak tertandingi dan produksi tembakau Madura dikonsumsi oleh hampir semua
pabrik rokok di Indonesia.
Kedua, judul
buku ini adalah Carok:Konflik kekerasan dan Harga diri orang Madura yang
menurut saya kurang representatif, karena dalam suatu penelitian harus
mempunyai sampel yang mewakili dari objek tempat yang diteliti, dimana dalam
judul buku ini adalah “Harga diri orang Madura” berarti penelitian harus
representatif dari keseluruhan wilayah Madura yang terdiri dari 4 Kabupaten
yakni Sampang, Pamekasan, Sumenep, dan Bangkalan.
Namun
dalam buku ini penulis dalam hal 24 hanya memilih lokasi penelitian di Kabupaten
Bangkalan sehingga peristiwa carok di daerah lain tidak dibahas dalam buku ini,
padahal motif carok di daerah lain lebih bervariatif dimana dalam Jurnal KARSA, Vol. 22 No. 1, Juni 2014
yang berjudul “Rekulturasi Pendidikan
Islam di Tengah Budaya Carok Di Madura” di Desa Bujur, Kecamatan
Batumarmar, Kabupaten Pamekasan, budaya carok di desa ini adalah salah
satu yang paling kuat membudaya di masyarakat dibandingkan desa-desa lain.
Intensitas terjadinya carok di Desa Bujur ini tinggi dan hal ini diperkuat
oleh data kriminalitas yang ada di Polsek Kecamatan Batumarmar. Kasus-kasus
yang sering menjadi sumber utama terjadinya konflik dalam bentuk carok di
desa ini adalah perebutan air, perebutan tanah, dan kecemburuan atau pelecehan
terhadap istri. Tiga hal tersebut sering menjadi sumber utama terjadinya kasus
kekerasan di Desa Bujur.
Dari
penelitian tersebut dapat dipahami ada motif penyebab carok selain yang telah
dibahas dalam buku “Carok:Konflik kekerasan dan Harga diri orang Madura” yang
terjadi di wilayah selain Kabupaten Bangkalan. Di dalam buku “Carok:Konflik
kekerasan dan Harga diri orang Madura” proses penyebab carok yang paling
dominan adalah kecemburuan atau pelecehan terhadap istri namun di desa Bujur Kecamatan
Batumarmar, Kabupaten Pamekasan yang paling dominan menjadi penyebab carok
adalah kasus perebutan air dan juga perebutan tanah.
Ketiga, ungkapan
Madura, “Buppa’ Babbu’ Guru Rato” tampaknya dapat menjadi cermin yang
menggambarkan realitas kehidupan orang Madura. Makna tersirat dalam ungkapan tersebut menempatkan
bapak dan ibu sebagai figur kecil dalam lingkup keluarga di pososi paling utama
yang sangat dihomati bagi individu atau orang Madura. dalam konteks kehidupan
sosial, figur utama sebagai panutan yang sangat dihormati adalah kiai. Bagi
orang Madura kiai adalah guru yang mendidikdan mengajarkan pengetahuan agama, yang
memberikan tuntuna dan pedoman dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat.
Bagi orang madura kiai memiliki peranan yang begitu penting dan sentral, bahkan
mengalahkan kepemimpinan birokrasi pemerintahan (Abdur Rozaki, 2004:4).
Peran
kiai yang begitu penting dalam kehidupan sosial Madura karena sebagai guru,
panutan di bidang agama, bahkan kiai seakan-akan diposisikan sebagai “titisan
tuhan” yang kata-katanya tidak boleh terbantahkan. Namun dalam buku ini agak
begitu janggal menurut saya, pada hal 191 dalam prasyarat sebelum melakukan
carok, para pelaku harus apaghar
(membentengi diri) dan meminta restu terhadap kiai untuk melakukan carok.
Apakah seorang kiai sebagai guru, panutan di bidang agama akan merestui
perbuatan kekerasan yang dilarang dalam agama islam ? dan apakah kiai mendukung
carok ini dengan memberi azimat atau apaghar
kepada pelaku sebelum melakukan
carok?
Keempat,
Analisis
tentang respon masyarakat terhadap carok, pelaku carok, dan
pemicu carok, semuanya dikonstruksi secara sama atau homogen. Respon
masyarakat terhadap penyelesaian konflik cenderung sama, yaitu dengan cara carok
dan nabeng (merekayasa proses pengadilan dengan menyerahkan sejumlah
uang kepada oknum agar hukuman menjadi ringan). Apakah semua komponen
masyarakat akan mempunyai pandangan yang sama bahwa penyelesaian konflik dengan
carok dan nabeng ? menurut saya,
butuh penelitian lebih lanjut tentang pandangan masyarakat madura terhadap
penyelesaian konflik karena tidak semua pandangan masyarakat sama dalam
menyikapi penyelesaian konflik yakni dengan menggunakan carok dan pasca carok
adalah upaya nabeng (merekayasa
proses pengadilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum agar hukuman
menjadi ringan).
Kelima, Sakera
dan carok seakan melekat tak terpisahkan. Orang Madura mengenal carok selalu
menghubungkan dengan peristiwa Sakera sang mandor tebu. Sehingga yang menjadi
kekurangan dalam buku Dr. Latif Wiyata ini tak menyinggung sama sekali
peristiwa tersebut. Padahal berdasarkan cerita rakyat yang berkembang, lahirnya
carok bermula dengan perkelahian antara Sakera dan Brodin, Markasan dan Carik
Rembang yang merupakan antek antek Belanda.
Munculnya
clurit di Pulau Madura pun dihubungkan dengan sakera pada abad 18 M. Pada masa
itu, Sakera diangkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh Belanda. Ia
adalah seorang mandor yang jujur dan taat agama, sehingga disukai para buruh.
Ciri khas dari Sakera saaat ke kebun mengawasi paara pekerja dia selalu membawa
arit besar yang dikenal sebagai Celurit. Suatu ketika, pabrik gula milik
Belanda membeli lahan perkebunan dengan cara licik. Tanah dibeli dengan harga
murah dan melakukan teror terhadap pemilik tanah. Belanda menyuruh bawahannya,
carik Rembang untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Dengan iming iming harta
dan kekayaan, akhirnya carik Rembang bersedia memenuhi keinginan Belanda. Carik
Rembang yang merasa berkuasa, menggunakan cara cara kekerasan kepada rakyat
dalam mengupayakan tanah untuk perusahaan Belanda tersebut.
Mengetahui
ketidak adilan itu, Sakera kemudian tergerak hatinya untuk membela rakyat
kecil. Berkali kali Sakera dengan berbagi cara menggagalkan upaya Carik
Rembang. Akhirnya Carik Rembang pun melaporkan hali ini kepada Belanda.
Langsung saja Belanda memerintahkan seorang jagoan bernama Markasan untuk
membunuh Sakera. Pada saat bekerja sedang istirahat, Markasan sengaja marh
marah serta memanggil sakera untuk di ajak adu kekuatan. Sakera yang mendapat
laporan dari pekerja buruh tersebut langsung marah. Sejak itu Sakera menjadi
buronan Hindia Belanda.
Saat
sakera berkunjung kerumah ibunya, ia dikeroyok oleh carik Rembang beserta
Belanda. Karena ibun Sakera diancam akan dibunuh, maka ia akhirnya menyerah dan
dipenjarakan di Bangil. Selama dipenjara, Sakera terpaksa meninggalkan istri
tercintanya yang sangat cantik yang bernama Marlena dan seorang keponakan
bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera
yang berjiwa besar, Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi dan sembuni
sembunyi mengincar Marlena. Dan brodin
akhirnya pun berhasil menyelingkuhi Marlena, dan jabar perselingkuhan tersebut
sampai pada telingan Sakera. Ia pun marah besar dan kabur dari penjara dan
melakukan Carok kepada Brodin dan membunuh Carik Rembang dan Markasan.
Namun
Sakera tertangkap juga karena Belanda meminta bantuan kepada teman seperguruan Sakera yakni, Aziz
untuk mencari kelemahan Sakera. Aziz pun menjebak Sakera dengan mengadakan
tayuban, dan sakera tertangkap kemudian dihukum gantung oleh Belanda. Sebelum
digantung, Sakera sempat berteriak: “Guperman
korang ajer, ja’ anga bunga, bender sengko’ mate, settong Sakera epate’e, Saebu
Sakera tombu pole” (Gupeman keparat, jangan bersenang senang, saya memang
mati, satu Sakera mati, 1000 Sakera tumbuh lagi). Sejak saat itu, orang Madura kalangan
bawah mulai berani melakukan perlawanan kepada Belanda., dimana Celurit,
sebagai simbolisassi figur Sakera (Samsul Ma’arif, 2015:165-168).
Keenam,
Keberadaan
keluarga pelaku carok baik sebagai ‘pemenang’ maupun ‘korban’,
membutuhkan kajian lebih lanjut. Bagi istri dari korban carok akan terjadi
perubahan dalam rumah tangganya, yaitu kehilangan kepala rumah tangga. Begitu
pula bagi istri dari pemenang carok yang suaminya berada di penjara. Setelah
peristiwa itu, masing-masing istri berperan sebagai kepala rumah tangga.
DAFTAR
PUSTAKA
Ma’arif, Samsul.
2015. The History Of Madura: Sejarah
Panjang Madura dari Kerajaan, Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Yogyakarta:
Araska
Rozaki, Abdur.
2004. Menabur Kharisma Menuai Kuasa:
Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura. Yogyakarta: Pustaka
Marwa
Wiyata, Latif.
2002. Carok:Konflik Kekerasan dan Harga
Diri Orang Madura. Yogyakarta:LKIS.
Jurnal:
KARSA, Vol. 22 No. 1, Juni 2014
Langganan:
Postingan (Atom)