REVIEW
DISERTASI
SARTONO KARTODIRDJO
“THE
PEASANTS’ REVOLT OF BANTEN IN 1888”
(PEMBERONTAKAN
PETANI BANTEN 1888)
Disertasi berjudul: THE PEASANTS’ REVOLT OF BANTEN IN 1888 Sartono Kartodirdjo, yang
telah berhasil mempertahankannya untuk meraih gelar Doktor pada “Academisch Proeschrift ter verkrijging van
de Graad van Doctor in de Letteren Aan de Universiteit van Amsterdam”,
sebagai promotornya ialah Prof. Dr. Wertheim, (jumlah halaman 377 cetak dalam
bahasa Inggris).
Pemberontakan petani (Peasants’ Revolt), istilah ini bukan
berarti pesertanya terdiri dari petani semata-mata. Sepanjang sejarah
pemberontakan-pemberontakan petani, pemimpinnya jarang sekali petani biasa.
Mereka berasal dari golongan penduduk biasa yang lebih berada, dan lebih terkemuka dan mereka adalah
pemuka-pemuka agama, anggota kaum ningrat, atau penduduk desa yang terhormat.
Jadi orang-orang yang statusnya memudahkan penilaian mengenai tujuan suatu
gerakan dan yang dapat berfungsi sebagai suatu fokus identifikasi simbolis.
Dapat dikatakan pemberontakan yang terjadi pada abad XIX di Indonseia dapat
dikatakan sebagai pemberontakan petani yang murni.
Pemberontakan petani Banten studi
ini,terjadi di distrik Anyer. Pemberontakan ini relatif singkat terjadi dari
tanggal 9 sampai dengan 30 Juli. Pemberontakan ini hanya merupakan satu
diantara serentetan peristiwa yang telah terjadi di Banten selama abad XIX.
Sesungguhnya abad XIX merupakan periode pergolakan sosial yang menyertai
perubahan sosial sebagai akibat pengaruh Barat yang semakin kuat. Suatu
modernisasi perekonomian dan masyarakat politik yang semakin meningkat. Seluruh
proses peralihan dari tradisionalitas ke modernitas di tandai oleh
goncangan-goncangan sosial yang silih berganti dan menyerupai pemberontakan
tahun 1888 di Banten. Pemberontakan-pemberontakan di hampir semua karesidenan
di Jawa dan daerah-daerah kerajaan, memperlihatkan karakteristik yang sama.
Pemberontakan- Pemberontakan itu, bersifat tradisional, lokal atau regional,
dan berumur pendek. Selain itu, tidak mempunyai ciri-ciri modern seperti
organisasi, ideologi-ideologi modern dan agitasi yang meliputi seluruh negeri.
Sebagian bersifat lokal, berkeinginan menggulingkan pemerintah, tetapi mereka
tidak menyadari kalau gerakannya bersifat revolusioner.
Pemberontakan-pemberontakan ini
mempunyai arti penting, dampaknya terhadap perkembangan politik, dalam fakta
bahwa kejadian endemik selama abad XIX dapat dipandang sebagai suatu
manifestasi dari pergolakan agraris yang merupakan arus bawah dari alur
perkembangan politik selama periode “Pax
Neerlandica”.
Dalam kerangka kontak kebudayaan Barat
dengan kebudayaan Indonesia, pemberontakan petani dapat dipandang sebagai
gerakan-gerakan protes terhadap masuknya perekonomian Barat yang tidak
diinginkan dan terhadap pengwasan politik, dua hal yang merong-rong tatanan
masyarakat tradisional. Dengan mulai berlakunya perekonomian uang, timbul buruh
upahan dan ditegakannya administrasi pusat, maka terjadilah keruntuhan umum
struktur ekonomi dan politik tradisional. Terganggunya keseimbangan lama
masyarakat tradisional tidak disangsikan lagi telah menimbulakn frustasi dan
rasa tersingkir yang umum, dan
perasaan-perasaan itu, jika dikomunikasikan, lalu berkembang menjadi keresahan
dan kegelisahan yang meluas. Di daerah-daerah agama memainkan peranan yang
dominan, pemimpin-pemimpin agama dengan mudah menempati kedudukan sebagai
pemimpin dalam gerakan-gerakan rakyat dengan membungkus pesan milenari mereka
dengan pesan keagamaan. Oleh karena itu,
gerakan-gerakan pemberontakan yang mereka lancarkan itu juga dapat
dianggap gerakan keagamaan dan gerakan milenari.
Studi ini, menyorti gerakan-gerakan
pemeberontakan di daerah yang paling rusuh di Jawa yakni Banten. Pemberontakan
ini dipilih, sebagai gejala khas dari perubahan sosial dan perkembangan yang menyertainya,
yakni pergolakan sosial, yang begitu menonjol di Jawa abad XIX
Suatu pendekatan struktural terhadap
sejarah Indonesia akan dapat memerikan sorotan yang lebih jelas mengenai
pelbagai segi masyarakat Indonesia dan pola-pola perkembangannya. Pendekatan
ini untuk sebagian akan dapat meniadakan prasangka historigrafi kolonal yang
Belanda sentris di satu pihak dan dipihak lain akan memungkinkan kita untuk
mengkonstruksi pola-pola sejarah di dalam suatu kerangka referensi yang
Indonesia sentris.
Pendekatannya bisa dilakukan
pelbagai jalur metodologi atau perspektif teoritis dan juga terpenting adalah
jalan atau perspektif ekonomis, sosiologis, politikologis dan
kultural-antropologis. Untuk tujuan analisis sejumlah aspek dari
fenomen-fenomen yang kompleks yang diisolasikan akan tetapi ini hasur dlakukan
sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan distorsi pada konteks yang
bersangkutan. Ditinjau dari segi insiden-insiden yang menentukan urutan-urutan
insiden yang menentukan hubungan sebab-akibat diantara faktor-faktor variabel,
apakah itu ekonomis, sosial, politis atau keagamaan. Arti penting yang relatif
harus diberikan kepada suatu faktor kausal tertentu yang diterminan dari
gerakan sosial itu. Sifat-sifat gerakan-gerakan sosial menghendaki agar penjelasan
genetis dilengkapi dengan penjelasan analitis. Dalam hal ini ditambahkan pada
pendekatan historis, yaitu disiplin-dipsiplin lain seperti sosiologi,
antropologi sosial, dan ilmu politik berada pada kedudukan yang lebih baik
utnuk menganalisa fenomena gerakan-gerakan sosial. Konstruksi-konstruksi
konseptual atau teori-teorinya mempunyai daya menjelaskan yang lebih besar
daripada penuturan sejarah yang polos.
Dalam menganalisis konflik-konflik
sosial di dalam masyarakat Banten, harus memperhatikan sistem-sistem nilai
tradisional dan keagamaan, sebagai satu kekuatan konservatif yang menentang
westernisasi. Masyarakat Banten terdiri dari golongan-golongan yang saling
bersaing, bersifat antagonistis dan bersengketa satu sama lain, sehingga
menyeret masyarakat ketitik kekacauan.
Gagasan milenari yang digunakan oleh
pemimpin-pemimpin agama untuk menghasut rakyat agar memberontak dapat
dijelaskan dari sudut pandang sosiologi
dan antropologi sosial atas dasar suatu orientasi keagamaan atau ideologi
golongan-golongan yang merasa dirugikan, yang bertujuan memulihkan apa yang
mereka anggap sebagai tatanan tradisional.
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini lebih menganggalkan sumber data dokumen yang di lacak dan
ditelusur di berbagai lembaga kearsipan dalam negeri seperti ANRI dan lemabga
lain di luar negari yang membutuhkan ketekunan dan ketangguhan dalam bekerja
riset sejarah. Metodologi didasarkan atas prinsip tentang perlunya memandang
suatu gerakan sosial seperti ini dari perspektif waktu dan perkembangan,
sebelum dapat diadakan perbandingan sistematik atau analisis teoritis. Analisa
terakhir bertujuan untuk menyoroti konfigurasi- konfigurasi dan memperbesar
dimenci-dimensi gerakan.
Pembahasan masalah. Dalam hal ini
penulis pada bab 2, akan menunjukan hubungan antara orientasi ideologis
gerakan-gerakan itu dan golongan sosial dari mana gerakan-gerakan itu
memperoleh anggota. Dalam bab 3, masalah dampak umum kekuasaan formal Belanda
terhadap sistem politik di Banten akan merupakan pokok perhatian. Adanya
kekuasaan Belanda secara berdampingan inilah telah menimbulkan situasi politik
yang semakin tidak stabil. Hal itu tercermin pada pemberontakan-pemberontakan
yang sering terjadi. Pemerintah kolonial secara berangsur-angsur membangun
sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan legal rasional kepada
rakyat. Kaum bangsawan yang sudah menjadi miskin dan pemimpin-pemimin agama
lalu merupakan kekuatan-kekuatan yang melawan penguasa-penguasa kolonial.
Selanjutnya pada bab 4, pergolakan
sosial yang kronis merupakan salah satu gejala disintegrasi masyarakat Banten
setelah runtuhnya kesultanan Banten. Ia merupakan ketidakstabilan sistem
politik yang berlangsung di Banten sejak kuartal pertama abad XIX.
Dalam bab5, dijelaskan suatu kebangkitan
kembali agama meluas keseluruh pulau Jawa dan bagian-bagian besar Indonesia
selama pertengan kedua abad XIX. Berikutnya dalam bab 6, disajikan suatu
laporan tuturan mengenai peristiwa-peristiwa penting yang mendahului ledakan
pemberontakan itu, mulai dari tahap pendahuluan untuk mengobarkan semangat
massa sampai ke tahap formal persiapan yang sesungguhnya. Keresahan umum
memanifestasikan dirinya dalam agitasi yang meningkat di kalangan murid-murid
sekolah agama, dalam perjalanan dilakukan oleh para guru agama/ulama untuk mengunjungi
pusat-pusat lembaga keagamaan diberbagai daerah di pulau Jawa dan meningkatnya
prestise dan pengaruh kaum ulama di klangan petani. Selain itu di dalam
lingkunan tarekat-tarekat orang semakin ramai berbicara pemeberontakan dan
“perang jihat”. Semua fenomen itu, dapat dipandang sebagai gejala permulaan
suatu gerakan revolusioner. Dengan semakin meningkatnya kegiatan-kegiatan di
kalangan kaum ulama, sementara perhatian rakyat dipusatkan kepada gagasan
Perang Suci, dan kepada harapan akan kembalinya kesultanan.
Bab 7, melukiskan pemeberontakan yang
sebenarnya yang meletus pada malam hari
tanggal 9 Juli 1888. Pemberontakan utama terjadi di Cilegon tempat
pemusatan pemberontakan terbesar meledak dalam tindakan kekerasan, pembunuhan,
penganiayaan dan perampokan. Teror menandai periode yang sangat singkat itu,
Cilegon diduduki oleh kaum pemberontak. Dalam bab 8, membahas tahap akhir
pemberontakan dan terutama mengenai usaha menolong korban-korban yang selamat
dari pertumpahan darah dan pengejaran terhadap pemimpin-pemimpin pemberontakan
yang memakan waktu lama. Pada bab10, pokok utama, diantara tidakan-tindakan
drastis yang diambil oleh pemerintah adalah menempatkan pasukan-pasukan kecil
ditempat yang dianggapnya sebagai pusat pemberontakan, pemecatan terhadap
pejabat-pejabat yang dianggap bersalah melakukan tindakan-tindakan
sewenang-wenang dibidang administratif sehingga
menimbulkan perasaan tidak puas dan
kebencian dikalangan rakyat, pencabutan ketetapan-ketetapan dan
peraturan-peraturan mengenai pemungutan berbagai pajak. Selain itu pemerintah
juga mengambil tindakan-tindakan jangka panjang untuk mencgah terulangnya
pemberontakan.
Skala gaerakan dan faktor-faktor yang
relevan. Suatu penjelasan skala gerakan pemberontakan dan operasi-operasinya
mencakup beberapa faktor sebagai berikut: (1) di Banten terdapat tradisi untuk
memberontak; (2) di daerah ini terdapat satu aspek ketegangan yang berlangsung
terus menerus, yang bersumber pada keadaan dimana satu lapisan besar penduduk
mengalami ketersingkiran politik dan kehilangan privilese mereka; (3) dampak penetrasi ndominasi kolonial
secara berangsur-angsur mengacaukan kehidupan agama; (4) ada satu pimpinan
revolusioner, yang memberikan landasan rasional kepada gerakan pemberontakan
itu; (5) satu alat keorganisasian telah diciptakan untuk mengerahkan
operasi-operasi dan mobilitas sumber-sumber daya manusia dan material mnurut
ruang dan waktu.
Berusaha meniadakan hal-hal yang dirasa
tidak adil, menyakitkan hati atau yang dianggap penindasan melalui pemberontakan
bersenjata udah merupakan tradisi Banten. Anad XIX menyaksikan bangkitnya
revolusionisme tradisional terutama antara tahu 1800 dan 1850 huru hara yang
bersifat pemberontakan susul menyusul
secara teratur, dan mencapai puncak intensitasnya dalam tahun 1850.
Kerusuhan-kerusuhan itu masih merupakan hal yang endemik selama dua dasa warsa
berikutnya. Kemudian geraka-gerakan
lebih lanjut yang memuncak dalam ledakan besar tahu 1888. Kebangkitan
revolusionerisme bukan hanya mencerminkan kondisi-kondisi yang ditimbulkan oleh
dominasi kolonial, oleh karena pra kolonial pun gerakan-gerakan protes sudah
dikenal. Berulangnya gerakan-gerakan memunculnya elite revolusioner yang
anggotanya dari generasi ke generasi memainkan peranan yang sedikit menonjol
dalam pemberontaka-peberontakan berikutnya. Keluarga yang melahirkan
tokoh-tokoh revolusioner: Jakaria, Urip danWakhia yang secara tradisional
merupakan titik pusat pemberontakan di Banten. Idealisasi tokoh-tokoh
revolusioner sudah merupakansatu tradisi
yang merakyat.
Masyarakat Banten pada abad XIX berada
dalam tahap peralihan, maka ketegangan-ketegangan lama menggejolak
kembaliterutama golongan-golongan yang telah kehilangan kedudukan mereka yang
tradisional. Fakta yang menyakitkan, yakni hilangnya privilese dan penghinaan
kolektif yang tak bisa dielakan lagi pada zaman pemerintahan kolonial, telah
menimbulkan dendam dan frustasi yang mendalam di kalangan golongan-golongan
itu.
Di alam masyarakat kolonial
ketidakcocokan tajam antara asepek-aspek tertentu dari praktek keagamaan
tradisional dan lembag-lembaga kolonial yang menimbulkan perasaan getir
dikalangan pribumi, yang merasa kebudayaan mereka sendiri akan mengalami
kemunduran. Mereka dirasuki perang sabil melawan kekuasaan orang-orang kafir,
menginginkan dipulihkan kekuasan tradisional, dan mengobarkan permusuhan
terhadap kolonial.
Elite agama telah mandapat peran untuk
memimpin gerakan pemberontakan tahun1888 dan otoritas mereka yang karismatik
merupakanunsur penting dalam usaha membina pertumbuhan gerakan itu. Pimpinan
karismatik diperlukan dalamgerakan-gerakan itu. Disamping tingkat keresahan
sosial yang tinggi dan tidak adanya cara-cara yang syah untuk meyatakan protes
dalam masyarakat Banten. Salah satu kekuatan utama gerakan pemberntakan
terletak dalam kenyataan bahwa gerakan itu dapat menggunakan Sufi sebagai
landasan organissinya.
Beberapa aspek proses modernisasi, yang
menarik dalam gerakan-gerakan revolusioner yang tradisional ke modernitas.
Pemberontakan Banten dapat dipandang sebagai ekspresi protes sosial terhadap
suatu penyesuaian negatif kepada perubahan sosial yang dipaksakan oleh dominasi
Barat. Proses modernisasi dan gejala
yang menyertainya, yakni sekularisasi dan alkuturasi, dengan sendirinya
menimbulkan perpecahan sosial, mulai dari sikap menyesuaikan diri sampai kepada
sikap menolak.
Aspek Nativistik, maslah lain dalam
gerakan pemberontakan. Daya tarik gagasan-gagasan pemulihan kesultanan di satu
pihak, dann gagasan eskatologis Islam di lain pihak. Gagasan tentang Imam Mahdi
memberikan kompensasi yang serasi dalam menghadpi situasi yang sulit, seperti
penderitaan fisik, frustasi yang diakibatkan oleh kehadiran penguasa asing atau
dekadensi moral. Berusaha menghidupkan kembali kebudayaan masa lampau digunakan
sebagai lambang-lambang kejayaan masa lampau untuk menandaskan nilai-nilai
bersama dan loyalitas-loyalitas dasar; aspek itu juga memperlihatkan unsur
utama dari regenerasi atau revitalisasi seperti penumbangan kekusaaan asing dan
pemulihan tatanan tradisional yang
dipahami sebagai dunia baru dimana bangsa yang berkadilan akan hidup
dalam keserasian dan kesejahteraan.
Aspek
“keadaan ketersingkiran” (“a state
of devripation”), menyangkut aspek sosio-psikologis gerakan itu, adalah
dapat tidaknya gerakan itu dijelaskan dari segi keadaan tersebut.
Aspek agama, pandangan orang
Bantendidasarkan pada agam dan sebagai akibatnya maka protes-protes sosial
selalu dipahami menurut pengertian agama. Oleh kaena itu, maka protes-protes
politik mengambil bentuk keagamaan, dana batar-batas persoalan politik dan
agama sedikit banyak menjadi tumpang tindih. Masyarakat muslim tidak mengadakan
pembedaan antara persoalan politik dengan persoalan agama. Oleh karena itu
ledakan pemberontakan harus dipandang sebagai religio-politis terhadap
penguasa-penguasa kolonial dan bukan karena kekerasan rasial.
Ciri-ci khas gerakan pemberontah Banten
secara umum sbb: (1) penolakan dan perlawanan aktif terhadap dominasi asing serta
lembaga-lembaga yang menyertainya; (2) ideologi islam merupakan tujuan yang
sebenarnya direncanakan oleh pemimpin-peimpin pemberontakan tahun 1926. (3)
gerakan-gerakan pemberontakan di Banten berlandaskan penduduk pedesaan, terdiri
dari kaum tani dan golongan lain dari pedesaan; (4) unsur yang menonjol dalam
pergolakan-pergolakan dari kaum bangsawan dan anggota-anggota kelas terhormat
yang telah kehilangan kekayaan mereka, serta gerombolan bersenjata yang telah
mengembara. Peran pemuda dalam gerakan keagamaan semakin meningkat mencampai
puncaknya dalam gerakan pemberontakan tahun 1888. Hal yang menarik pemimpin pemberontakan
komunis tahn 1926 di Banten adalah bergelar haji: (5) tidak ada hal yang
bercirikan gerakan usia tua yakni mesianis yang tradisional yang terdapat dalam
kebudayaan Jawa.