Jumat, 22 April 2016

Review Disertasi Sartono Kartodirdjo “The Peasants’ Revolt Of Banten In 1888”



REVIEW
DISERTASI SARTONO KARTODIRDJO
“THE PEASANTS’ REVOLT OF BANTEN IN 1888”
(PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN 1888)

Disertasi berjudul: THE PEASANTS’ REVOLT OF BANTEN IN 1888 Sartono Kartodirdjo, yang telah berhasil mempertahankannya untuk meraih gelar Doktor pada “Academisch Proeschrift ter verkrijging van de Graad van Doctor in de Letteren Aan de Universiteit van Amsterdam”, sebagai promotornya ialah Prof. Dr. Wertheim, (jumlah halaman 377 cetak dalam bahasa Inggris).
Pemberontakan petani (Peasants’ Revolt), istilah ini bukan berarti pesertanya terdiri dari petani semata-mata. Sepanjang sejarah pemberontakan-pemberontakan petani, pemimpinnya jarang sekali petani biasa. Mereka berasal dari golongan penduduk biasa yang lebih berada,  dan lebih terkemuka dan mereka adalah pemuka-pemuka agama, anggota kaum ningrat, atau penduduk desa yang terhormat. Jadi orang-orang yang statusnya memudahkan penilaian mengenai tujuan suatu gerakan dan yang dapat berfungsi sebagai suatu fokus identifikasi simbolis. Dapat dikatakan pemberontakan yang terjadi pada abad XIX di Indonseia dapat dikatakan sebagai pemberontakan petani yang murni.
Pemberontakan petani Banten studi ini,terjadi di distrik Anyer. Pemberontakan ini relatif singkat terjadi dari tanggal 9 sampai dengan 30 Juli. Pemberontakan ini hanya merupakan satu diantara serentetan peristiwa yang telah terjadi di Banten selama abad XIX. Sesungguhnya abad XIX merupakan periode pergolakan sosial yang menyertai perubahan sosial sebagai akibat pengaruh Barat yang semakin kuat. Suatu modernisasi perekonomian dan masyarakat politik yang semakin meningkat. Seluruh proses peralihan dari tradisionalitas ke modernitas di tandai oleh goncangan-goncangan sosial yang silih berganti dan menyerupai pemberontakan tahun 1888 di Banten. Pemberontakan-pemberontakan di hampir semua karesidenan di Jawa dan daerah-daerah kerajaan, memperlihatkan karakteristik yang sama. Pemberontakan- Pemberontakan itu, bersifat tradisional, lokal atau regional, dan berumur pendek. Selain itu, tidak mempunyai ciri-ciri modern seperti organisasi, ideologi-ideologi modern dan agitasi yang meliputi seluruh negeri. Sebagian bersifat lokal, berkeinginan menggulingkan pemerintah, tetapi mereka tidak menyadari kalau gerakannya bersifat revolusioner.
Pemberontakan-pemberontakan ini mempunyai arti penting, dampaknya terhadap perkembangan politik, dalam fakta bahwa kejadian endemik selama abad XIX dapat dipandang sebagai suatu manifestasi dari pergolakan agraris yang merupakan arus bawah dari alur perkembangan politik selama periode “Pax Neerlandica”.
Dalam kerangka kontak kebudayaan Barat dengan kebudayaan Indonesia, pemberontakan petani dapat dipandang sebagai gerakan-gerakan protes terhadap masuknya perekonomian Barat yang tidak diinginkan dan terhadap pengwasan politik, dua hal yang merong-rong tatanan masyarakat tradisional. Dengan mulai berlakunya perekonomian uang, timbul buruh upahan dan ditegakannya administrasi pusat, maka terjadilah keruntuhan umum struktur ekonomi dan politik tradisional. Terganggunya keseimbangan lama masyarakat tradisional tidak disangsikan lagi telah menimbulakn frustasi dan rasa  tersingkir yang umum, dan perasaan-perasaan itu, jika dikomunikasikan, lalu berkembang menjadi keresahan dan kegelisahan yang meluas. Di daerah-daerah agama memainkan peranan yang dominan, pemimpin-pemimpin agama dengan mudah menempati kedudukan sebagai pemimpin dalam gerakan-gerakan rakyat dengan membungkus pesan milenari mereka dengan pesan keagamaan. Oleh karena itu,  gerakan-gerakan pemberontakan yang mereka lancarkan itu juga dapat dianggap gerakan keagamaan dan gerakan milenari.
Studi ini, menyorti gerakan-gerakan pemeberontakan di daerah yang paling rusuh di Jawa yakni Banten. Pemberontakan ini dipilih, sebagai gejala khas dari perubahan sosial dan perkembangan yang menyertainya, yakni pergolakan sosial, yang begitu menonjol di Jawa abad XIX
            Suatu pendekatan struktural terhadap sejarah Indonesia akan dapat memerikan sorotan yang lebih jelas mengenai pelbagai segi masyarakat Indonesia dan pola-pola perkembangannya. Pendekatan ini untuk sebagian akan dapat meniadakan prasangka historigrafi kolonal yang Belanda sentris di satu pihak dan dipihak lain akan memungkinkan kita untuk mengkonstruksi pola-pola sejarah di dalam suatu kerangka referensi yang Indonesia sentris.
            Pendekatannya bisa dilakukan pelbagai jalur metodologi atau perspektif teoritis dan juga terpenting adalah jalan atau perspektif ekonomis, sosiologis, politikologis dan kultural-antropologis. Untuk tujuan analisis sejumlah aspek dari fenomen-fenomen yang kompleks yang diisolasikan akan tetapi ini hasur dlakukan sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan distorsi pada konteks yang bersangkutan. Ditinjau dari segi insiden-insiden yang menentukan urutan-urutan insiden yang menentukan hubungan sebab-akibat diantara faktor-faktor variabel, apakah itu ekonomis, sosial, politis atau keagamaan. Arti penting yang relatif harus diberikan kepada suatu faktor kausal tertentu yang diterminan dari gerakan sosial itu. Sifat-sifat gerakan-gerakan sosial menghendaki agar penjelasan genetis dilengkapi dengan penjelasan analitis. Dalam hal ini ditambahkan pada pendekatan historis, yaitu disiplin-dipsiplin lain seperti sosiologi, antropologi sosial, dan ilmu politik berada pada kedudukan yang lebih baik utnuk menganalisa fenomena gerakan-gerakan sosial. Konstruksi-konstruksi konseptual atau teori-teorinya mempunyai daya menjelaskan yang lebih besar daripada penuturan sejarah yang polos.
Dalam menganalisis konflik-konflik sosial di dalam masyarakat Banten, harus memperhatikan sistem-sistem nilai tradisional dan keagamaan, sebagai satu kekuatan konservatif yang menentang westernisasi. Masyarakat Banten terdiri dari golongan-golongan yang saling bersaing, bersifat antagonistis dan bersengketa satu sama lain, sehingga menyeret masyarakat ketitik kekacauan.
Gagasan milenari yang digunakan oleh pemimpin-pemimpin agama untuk menghasut rakyat agar memberontak dapat dijelaskan dari  sudut pandang sosiologi dan antropologi sosial atas dasar suatu orientasi keagamaan atau ideologi golongan-golongan yang merasa dirugikan, yang bertujuan memulihkan apa yang mereka anggap sebagai tatanan tradisional.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini lebih menganggalkan sumber data dokumen yang di lacak dan ditelusur di berbagai lembaga kearsipan dalam negeri seperti ANRI dan lemabga lain di luar negari yang membutuhkan ketekunan dan ketangguhan dalam bekerja riset sejarah. Metodologi didasarkan atas prinsip tentang perlunya memandang suatu gerakan sosial seperti ini dari perspektif waktu dan perkembangan, sebelum dapat diadakan perbandingan sistematik atau analisis teoritis. Analisa terakhir bertujuan untuk menyoroti konfigurasi- konfigurasi dan memperbesar dimenci-dimensi gerakan.
Pembahasan masalah. Dalam hal ini penulis pada bab 2, akan menunjukan hubungan antara orientasi ideologis gerakan-gerakan itu dan golongan sosial dari mana gerakan-gerakan itu memperoleh anggota. Dalam bab 3, masalah dampak umum kekuasaan formal Belanda terhadap sistem politik di Banten akan merupakan pokok perhatian. Adanya kekuasaan Belanda secara berdampingan inilah telah menimbulkan situasi politik yang semakin tidak stabil. Hal itu tercermin pada pemberontakan-pemberontakan yang sering terjadi. Pemerintah kolonial secara berangsur-angsur membangun sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan legal rasional kepada rakyat. Kaum bangsawan yang sudah menjadi miskin dan pemimpin-pemimin agama lalu merupakan kekuatan-kekuatan yang melawan penguasa-penguasa kolonial.
Selanjutnya pada bab 4, pergolakan sosial yang kronis merupakan salah satu gejala disintegrasi masyarakat Banten setelah runtuhnya kesultanan Banten. Ia merupakan ketidakstabilan sistem politik yang berlangsung di Banten sejak kuartal pertama abad XIX.
Dalam bab5, dijelaskan suatu kebangkitan kembali agama meluas keseluruh pulau Jawa dan bagian-bagian besar Indonesia selama pertengan kedua abad XIX. Berikutnya dalam bab 6, disajikan suatu laporan tuturan mengenai peristiwa-peristiwa penting yang mendahului ledakan pemberontakan itu, mulai dari tahap pendahuluan untuk mengobarkan semangat massa sampai ke tahap formal persiapan yang sesungguhnya. Keresahan umum memanifestasikan dirinya dalam agitasi yang meningkat di kalangan murid-murid sekolah agama, dalam perjalanan dilakukan oleh para guru agama/ulama untuk mengunjungi pusat-pusat lembaga keagamaan diberbagai daerah di pulau Jawa dan meningkatnya prestise dan pengaruh kaum ulama di klangan petani. Selain itu di dalam lingkunan tarekat-tarekat orang semakin ramai berbicara pemeberontakan dan “perang jihat”. Semua fenomen itu, dapat dipandang sebagai gejala permulaan suatu gerakan revolusioner. Dengan semakin meningkatnya kegiatan-kegiatan di kalangan kaum ulama, sementara perhatian rakyat dipusatkan kepada gagasan Perang Suci, dan kepada harapan akan kembalinya kesultanan.
Bab 7, melukiskan pemeberontakan yang sebenarnya yang meletus pada malam hari  tanggal 9 Juli 1888. Pemberontakan utama terjadi di Cilegon tempat pemusatan pemberontakan terbesar meledak dalam tindakan kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan perampokan. Teror menandai periode yang sangat singkat itu, Cilegon diduduki oleh kaum pemberontak. Dalam bab 8, membahas tahap akhir pemberontakan dan terutama mengenai usaha menolong korban-korban yang selamat dari pertumpahan darah dan pengejaran terhadap pemimpin-pemimpin pemberontakan yang memakan waktu lama. Pada bab10, pokok utama, diantara tidakan-tindakan drastis yang diambil oleh pemerintah adalah menempatkan pasukan-pasukan kecil ditempat yang dianggapnya sebagai pusat pemberontakan, pemecatan terhadap pejabat-pejabat yang dianggap bersalah melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang dibidang administratif  sehingga menimbulkan  perasaan tidak puas dan kebencian dikalangan rakyat, pencabutan ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan mengenai pemungutan berbagai pajak. Selain itu pemerintah juga mengambil tindakan-tindakan jangka panjang untuk mencgah terulangnya pemberontakan.
Skala gaerakan dan faktor-faktor yang relevan. Suatu penjelasan skala gerakan pemberontakan dan operasi-operasinya mencakup beberapa faktor sebagai berikut: (1) di Banten terdapat tradisi untuk memberontak; (2) di daerah ini terdapat satu aspek ketegangan yang berlangsung terus menerus, yang bersumber pada keadaan dimana satu lapisan besar penduduk mengalami ketersingkiran politik dan kehilangan privilese mereka;  (3) dampak penetrasi ndominasi kolonial secara berangsur-angsur mengacaukan kehidupan agama; (4) ada satu pimpinan revolusioner, yang memberikan landasan rasional kepada gerakan pemberontakan itu; (5) satu alat keorganisasian telah diciptakan untuk mengerahkan operasi-operasi dan mobilitas sumber-sumber daya manusia dan material mnurut ruang dan  waktu.
Berusaha meniadakan hal-hal yang dirasa tidak adil, menyakitkan hati atau yang dianggap penindasan melalui pemberontakan bersenjata udah merupakan tradisi Banten. Anad XIX menyaksikan bangkitnya revolusionisme tradisional terutama antara tahu 1800 dan 1850 huru hara yang bersifat pemberontakan  susul menyusul secara teratur, dan mencapai puncak intensitasnya dalam tahun 1850. Kerusuhan-kerusuhan itu masih merupakan hal yang endemik selama dua dasa warsa berikutnya.  Kemudian geraka-gerakan lebih lanjut yang memuncak dalam ledakan besar tahu 1888. Kebangkitan revolusionerisme bukan hanya mencerminkan kondisi-kondisi yang ditimbulkan oleh dominasi kolonial, oleh karena pra kolonial pun gerakan-gerakan protes sudah dikenal. Berulangnya gerakan-gerakan memunculnya elite revolusioner yang anggotanya dari generasi ke generasi memainkan peranan yang sedikit menonjol dalam pemberontaka-peberontakan berikutnya. Keluarga yang melahirkan tokoh-tokoh revolusioner: Jakaria, Urip danWakhia yang secara tradisional merupakan titik pusat pemberontakan di Banten. Idealisasi tokoh-tokoh revolusioner  sudah merupakansatu tradisi yang merakyat.
Masyarakat Banten pada abad XIX berada dalam tahap peralihan, maka ketegangan-ketegangan lama menggejolak kembaliterutama golongan-golongan yang telah kehilangan kedudukan mereka yang tradisional. Fakta yang menyakitkan, yakni hilangnya privilese dan penghinaan kolektif yang tak bisa dielakan lagi pada zaman pemerintahan kolonial, telah menimbulkan dendam dan frustasi yang mendalam di kalangan golongan-golongan itu.
Di alam masyarakat kolonial ketidakcocokan tajam antara asepek-aspek tertentu dari praktek keagamaan tradisional dan lembag-lembaga kolonial yang menimbulkan perasaan getir dikalangan pribumi, yang merasa kebudayaan mereka sendiri akan mengalami kemunduran. Mereka dirasuki perang sabil melawan kekuasaan orang-orang kafir, menginginkan dipulihkan kekuasan tradisional, dan mengobarkan permusuhan terhadap kolonial.
Elite agama telah mandapat peran untuk memimpin gerakan pemberontakan tahun1888 dan otoritas mereka yang karismatik merupakanunsur penting dalam usaha membina pertumbuhan gerakan itu. Pimpinan karismatik diperlukan dalamgerakan-gerakan itu. Disamping tingkat keresahan sosial yang tinggi dan tidak adanya cara-cara yang syah untuk meyatakan protes dalam masyarakat Banten. Salah satu kekuatan utama gerakan pemberntakan terletak dalam kenyataan bahwa gerakan itu dapat menggunakan Sufi sebagai landasan organissinya.
Beberapa aspek proses modernisasi, yang menarik dalam gerakan-gerakan revolusioner yang tradisional ke modernitas. Pemberontakan Banten dapat dipandang sebagai ekspresi protes sosial terhadap suatu penyesuaian negatif kepada perubahan sosial yang dipaksakan oleh dominasi Barat. Proses modernisasi dan  gejala yang menyertainya, yakni sekularisasi dan alkuturasi, dengan sendirinya menimbulkan perpecahan sosial, mulai dari sikap menyesuaikan diri sampai kepada sikap menolak.
Aspek Nativistik, maslah lain dalam gerakan pemberontakan. Daya tarik gagasan-gagasan pemulihan kesultanan di satu pihak, dann gagasan eskatologis Islam di lain pihak. Gagasan tentang Imam Mahdi memberikan kompensasi yang serasi dalam menghadpi situasi yang sulit, seperti penderitaan fisik, frustasi yang diakibatkan oleh kehadiran penguasa asing atau dekadensi moral. Berusaha menghidupkan kembali kebudayaan masa lampau digunakan sebagai lambang-lambang kejayaan masa lampau untuk menandaskan nilai-nilai bersama dan loyalitas-loyalitas dasar; aspek itu juga memperlihatkan unsur utama dari regenerasi atau revitalisasi seperti penumbangan kekusaaan asing dan pemulihan tatanan tradisional yang  dipahami sebagai dunia baru dimana bangsa yang berkadilan akan hidup dalam keserasian dan kesejahteraan.
Aspek  “keadaan ketersingkiran” (“a state of devripation”), menyangkut aspek sosio-psikologis gerakan itu, adalah dapat tidaknya gerakan itu dijelaskan dari segi keadaan tersebut.
Aspek agama, pandangan orang Bantendidasarkan pada agam dan sebagai akibatnya maka protes-protes sosial selalu dipahami menurut pengertian agama. Oleh kaena itu, maka protes-protes politik mengambil bentuk keagamaan, dana batar-batas persoalan politik dan agama sedikit banyak menjadi tumpang tindih. Masyarakat muslim tidak mengadakan pembedaan antara persoalan politik dengan persoalan agama. Oleh karena itu ledakan pemberontakan harus dipandang sebagai religio-politis terhadap penguasa-penguasa kolonial dan bukan karena kekerasan rasial.
Ciri-ci khas gerakan pemberontah Banten secara umum sbb: (1) penolakan dan perlawanan aktif terhadap dominasi asing serta lembaga-lembaga yang menyertainya; (2) ideologi islam merupakan tujuan yang sebenarnya direncanakan oleh pemimpin-peimpin pemberontakan tahun 1926. (3) gerakan-gerakan pemberontakan di Banten berlandaskan penduduk pedesaan, terdiri dari kaum tani dan golongan lain dari pedesaan; (4) unsur yang menonjol dalam pergolakan-pergolakan dari kaum bangsawan dan anggota-anggota kelas terhormat yang telah kehilangan kekayaan mereka, serta gerombolan bersenjata yang telah mengembara. Peran pemuda dalam gerakan keagamaan semakin meningkat mencampai puncaknya dalam gerakan pemberontakan tahun 1888.  Hal yang menarik pemimpin pemberontakan komunis tahn 1926 di Banten adalah bergelar haji: (5) tidak ada hal yang bercirikan gerakan usia tua yakni mesianis yang tradisional yang terdapat dalam kebudayaan Jawa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar